Jakarta (ANTARA News) - Malam di satu akhir pekan semakin pekat, namun toko dan pusat perbelanjaan justru semakin ramai oleh lalu lalang kendaraan roda empat yang keluar masuk halaman parkir yang terang benderang seolah matahari belum terbenam.

Suasana ini selalu terjadi di sudut-sudut kota di mana toko serba ada (toserba) besar atau departemen store seperti Sogo, Debenham, Seibu, Centro, toserba milik lokal Matahari, menggelar "midnight sale."

"Ritual" niaga seperti itu dilakukan pula peritel-peritel raksasa seperti Carrefour dan Giant yang pada hari-hari tertentu juga kerap menawarkan diskon tengah malam.

Seakan tidak pernah puas mendulang keuntungan dari jam operasi biasa dari pukul 10.00 sampai 22.00 WIB, sejumlah peritel modern yang sebagian besar dikuasai asing, membuka toko hingga tengah malam. Beberapa diantaranya mengimingi potongan harga tambahan sampai 20 persen.

Fenomena itu meningkat dari hari ke hari, bahkan pada Sabtu dan Minggu sejumlah peritel besar bekerjasama dengan pengelola pusat perbelanjaan membuka gerai lebih pagi, jam 8.00 WIB!.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan, Distribusi dan Logistik, Benny Soetrisno, menyebut, ekspansi mereka adalah bentuk kerakusan kapitalisme yang mendorong para kapitalis mengeruk keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempedulikan pedagang kecil.

Pantas saja di sejumlah lokasi, keberadaan peritel besar terutama yang bersentuhan dengan pengadaan kebutuhan pokok dan mengambil segmen pasar menengah ke bawah, mendapat reaksi keras dari pedagang kecil. Belum lama ini sekitar 3.600 perdagang kecil di Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan menolak Carrefour hadir di daerah mereka.

Sekjen Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Ngadiran, merisaukan dampak negatif keberadaan peritel besar milik asing terhadap penghasilan pedagang kecil di Palembang.

Oleh karena itu, dia mendukung penuh upaya pedagang kawasan Jakabaring dalam menolak Carrefour, termasuk mengajukan class action ke pengadilan.

Liberal

Benny Sutrisno menilai sepak terjang peritel besar selama ini adalah buah dari tiadanya aturan dan kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap pedagang kecil yang mengais rezeki di pasar domestik yang besar.

"Para peritel besar itu menjadi rakus. Apa tidak cukup keuntungan beroperasi di siang hari. Seharusnya pedagang kecil diberi kesempatan mendapatkan pasar di malam hari, karena di siang hari mereka tidak bisa bersaing dengan pemodal besar," ujar staf khusus Menteri Perindustrian itu.

Benny mendesak Kementerian Perdagangan membuat aturan jam operasi toko-toko besar dan peraturan lain yang memberi ruang kepada pedagang kecil untuk mendapatkan untung di pasar domestik.

"Tolong Kementerian Perdagangan yang mengatur perdagangan dalam negeri, mengatur itu, dan memberi kewajiban kepada mereka (peritel besar) untuk memasarkan produk domestik, minimal 60 persen," ujarnya.

Ia mempertanyakan keberpihakan pemerintah terhadap pedagang kecil yang seharusnya dilindungi dan tidak dibiarkan bersaing secara langsung dengan peritel besar.

Menurutnya, pemerintahan di negara maju secara ekonomi terus melindungi pedagang kecil dengan membatasi jam operasi toko besar seperti toserba dan pasar swalayan besar.

"Di Jerman misalnya, toko-toko besar hanya beroperasi sampai jam lima sore, selanjutnya tutup. Biarkan pedagang kecil yang jualan," ujar Benny.

Sebaliknya, di Indonesia, Kementerian Perdagangan tidak mengeluarkan kebijakan yang mengatur jam operasi toko besar dan membiarkan mereka beroperasi tanpa aturan, sehingga menciptakan ketidakadilan bagi pedagang kecil.

"Kebijakan pemerintah harus adil, adil harus berpihak. Berpihak pada siapa, ya pada yang kecil, yang kecil difasilitasi, dan yang besar dikurangi keleluasaannya," ujar Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) itu.

Hal senada dikemukakan ekonom ECONIT, Hendri Saparini. Merujuk data organisasi ritel internasional, Hendri menyebutkan, Indonesia adalah salah satu negara dengan bisnis ritel paling liberal karena tidak mengatur keberadaan asing di sektor ini.

Padahal, negara maju seperti Inggris, Jepang, dan Korea saja membatasi penguasaan asing di bidang ritel, dengan batasan penguasaan pasar hanya 1-3 persen.

Ironisnya di Indonesia, penguasaan ritel asing dan besar justru mencapai di atas 13 persen, atau menciptakan ketidakadilan perlakuan terhadap pedagang kecil dalam negeri.

"Peritel asing itu dibackup pemerintah melalui berbagai lobi, sehingga itu bukan lagi persaingan antarpelaku bisnis. Jadi pedagang kecil kalah, bukan karena kalah dalam persaingan, tapi karena kondisi usahanya yang bermodal kecil tidak memungkinkan untuk itu," kata Hendri.

Ia berharap DPR melihat konflik antarpedagang kecil nasional dan peritel besar yang rata-rata asing ini, untuk kemudian mendorong lahirnya peraturan yang melindungi pedagang kecil dari negeri sendiri.

UU Perdagangan

Desakan membuat undang-undang perdagangan yang berpihak pada pedagang kecil yang kebanyakan ada di pasar-pasar tradisional itu terus menguat, seiring dengan protes yang terus mengalir dari pedagang kecil yang kian terjepit di tengah serbuan peritel besar dari berbagai negara.

Mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Benny Pasaribu menilai persaingan antar pasar retail modern besar dan pasar tradisional sudah semakin tidak sehat.

Dalam kondisi ini, undang-undang tentang perdagangan mutlak ada, karena selama ini regulasi tentang ritel modern dan besar, serta pedagang kecil, belum diatur lengkap.

Menurutnya, Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern, serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53 tahun 2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, belum memenuhi unsur persaingan yang sehat.

Benny Pasaribu mengusulkan pemerintah dan DPR segera membuat undang-undang tentang perdagangan yang menciptakan persaingan usaha yang sehat antara pasar retail modern dan pasar tradisional.

Sementara Benny Soetrisno menambahkan, Kementerian Perdagangan harus lebih peka kepada perubahan cepat di era pasar bebas dan melindungi pedagang kecil di negerinya sendiri.

"Pemerintah itu tugasnya untuk mengelola, sesuai dengan perubahan kondisi, jadi aturannya ada juga harus diubah, atau dibuat bila tidak memenuhi unsur kebijakan yang berpihak pada pedagang kecil," ujarnya.

Gayung bersambut, anggota Komisi VI DPR-RI Sukur Nababan berjanji akan mendorong pembuatan undang-undang perdagangan, meskipun saat ini undang-undang itu diakuinya belum menjadi prioritas utama.

"Kami akan mendorong itu, dan sedang dikaji apakah peraturan perundangan itu insiatif dewan atau pemerintah," ujar anggota dewan dari Fraksi PDIP itu.

Namun ia menekankan, pemerintah harus terus memasilitasi pedagang kecil dengan membangun pasar bersih berdesain baik seperti layaknya toserba atau pasar swalayan besar, sehingga konsumen mau datang ke pasar tradisional.

"Sayangnya saat ini Kementerian Perdagangan menyerahkan revitalisasi pasar pada pemerintah daerah tanpa desain, sehingga banyak pasar tradisional yang telah direvitalisasi tidak mampu berfungsi meningkatkan daya saing pedagang kecil," katanya.

Namun, apapun ketentuan dan kebijakan yang dikeluarkan, pembuat kebijakan mesti terus mengawasi pelaksanaan ketentuan yang kelak dibuatnya, agar kebijakan itu benar-benar melindungi dan memberdayakan pedagang kecil negeri ini. (*)
R016/AR09

Oleh Risbiani Fardaniah
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010