Jakarta (ANTARA) - Digitalisasi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) tak lepas dari kematangan digital (digital maturity) yang mempengaruhi kesiapan UMKM di sebuah wilayah untuk memperluas bisnisnya melalui adaptasi dan penggunaan teknologi.

Menurut Asia Pacific SMB Digital Maturity Study tahun 2020 yang dibuat berdasarkan hasil survei UKM dari seluruh kawasan Asia Pasifik oleh International Data Corporation (IDC) sesuai komisi Cisco, terdapat empat tingkatan kematangan digital UMKM.

"Stage pertama adalah digital indifferent, lalu digital observer, digital challenger, dan yang tertinggi atau yang paling siap adalah digital native," kata Marina Kacaribu, Managing Director, Cisco Indonesia melalui siaran virtual, Rabu.

Peringkat awal, yaitu digital indifferent merupakan tingkatan dimana pelaku UMKM bersifat cenderung reaktif dan berfokus ke efisiensi. Mayoritas dari proses di perusahaan masih dilakukan secara manual dengan sedikit aktivitas digital. Jumlah talenta digital pun masih belum banyak untuk terlibat di UMKM.

Berikutnya adalah digital observer yang sudah memulai membuat perencanaan digital, dan memanfaatkan teknologi baru seperti komputasi awan, cloud.

Peringkat selanjutnya adalah digital challenger, dimana UMKM mulai lincah memanfaatkan produk digital dan memiliki strategi digital, walaupun masih berjangka pendek. UMKM di tahapan ini juga memiliki peta jalan teknologi dan mulai mengadaptasi hybrid cloud.

Sementara, digital challenger sudah adaptif dan matang memanfaatkan segala bentuk digitalisasi untuk mendongkrak bisnisnya.

Menurut studi tersebut, mayoritas UMKM di Indonesia masih berada di tahapan pertama, atau lebih tepatnya di peringkat 13 di kawasan Asia Pasifik.

Namun, 82 persen UMKM di Indonesia memiliki keinginan bertransformasi secara digital agar bisa menghadirkan produk dan layanan baru ke pasar.

Hasil studi tersebut menunjukkan tiga prioritas investasi teknologi teratas untuk UMKM di Indonesia, yaitu investasi pada cloud (20 persen), diikuti oleh keamanan siber (18 persen), dan pembelian atau peningkatan perangkat lunak IT (13 persen).

Selain itu, UMKM juga menghadapi tantangan lainnya. Menurut para responden, kurangnya bakat terampil (20 persen) dan kurangnya wawasan tentang pelanggan dan data operasional (17 persen) adalah dua kendala terbesar yang UMKM hadapi.

"Hal ini ternyata me-trigger mereka untuk pindah ke digital. Karena kalo manual, supply chain, customer experience, juga akan susah untuk dianalisa," kata Marina.

"Dan yang cukup melegakan, rupanya dari sisi plan dan budget commitment ternyata belum menjadi kendala terbesar mereka, tapi lebih ke skill dan insight," ujarnya menambahkan.

Bicara tentang potensi, Marina optimistis bahwa UMKM Indonesia masih memiliki banyak ruang yang bisa dieksplorasi agar dapat terus berkembang ke tahapan-tahapan berikutnya.

"Potensi untuk meningkat ke stage berikutnya sangat besar, apalagi dengan didorong di situasi saat ini," kata dia.

"Yang penting adalah UMKM harus tahu prioritas apa yang harus diutamakan perusahaannya, tergantung sektor yang mereka tekuni," pungkasnya.


Baca juga: Digitalisasi UMKM bisa jadi peluang tingkatkan PDB Indonesia

Baca juga: BI DKI Jakarta gelar Festival Kreasi dan Seni dukung UMKM

Baca juga: Gubernur BI beberkan tiga langkah majukan UMKM di era digital

Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2020