Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Direktur Umum dan SDM PT Perusahaan Gas Negara (PGN), Joko Pramono (JP), sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pungutan uang proyek pembangunan jaringan pipa distribusi gas dan atau penyuapan ke sejumlah anggota DPR RI.

"Benar JP sudah ditetapkan sebagai tersangka," kata Juru Bicara KPK, Johan Budi, ketika dihubungi wartawan di Jakarta, Selasa.

Johan mengatakan, Joko diduga terlibat dalam kasus yang juga menjerat mantan Direktur Utama PT PGN, Washington Mampe Parulian (WMP) Simanjuntak. Ketika kasus itu terjadi, Joko Pramono menjabat sebagai Direktur Keuangan PGN.

Nama Joko disebut di dalam surat dakwaan terhadap WMP Simanjuntak. Tim penuntut umum pada KPK menyatakan, dana pungutan kontraktor PT. PGN sebesar RP1,6 miliar mengalir ke sejumlah anggota DPR RI pada 2003.

Tim penuntut umum menyatakan, WMP Simanjuntak memerintahkan pengumpulan dana dari sejumlah kontraktor PGN dalam proyek pembangunan jaringan pipa distribusi gas.

"Sebagian uang itu diberikan kepada anggota DPR RI yang telah menetujui anggaran PGN 2003," kata penuntut umum Dwi Aries.

Atas perbuatan itu, WMP Simanjuntak dijerat dengan pasal 12 huruf e dan atau pasal 11 dan atau pasal 13 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP.

Tim penuntut umum menguraikan, awalnya WMP menerima telefon dari anggota DPR RI Agusman dan Hamka Yandhu.

Pada saat itu, menurut tim penuntut umum, Agusman meminta dana sebesar Rp1 miliar yang akan dibagikan kepada anggota Komisi VIII DPR RI. Sedangkan Hamka Yandhu meminta dana Rp600 juta, separuhnya akan diteruskan kepada pimpinan DPR, sedangkan sisanya untuk Hamka Yandhu sendiri.

Atas permintaan itu, WMP Simanjuntak kemudian memerintahkan Direktur Keuangan PGN, Joko Pramono, dan beberapa bawahannya untuk mengumpulkan uang dari para kontaktor proyek pembangunan jaringan pipa distribusi gas di beberapa daerah di Indonesia.

"Pengumpulan itu mencapai Rp3,6 miliar," kata penuntut umum Sarjono Turin ketika membacakan dakwaannya.

Kemudian WMP Simanjuntak memerintahkan penyerahan uang kepada anggota DPR Agusman dan Hamka Yandhu.

Penyerahan uang sebesar Rp1 miliar kepada Agusman dilakukan melalui orang bernama Tohir Nur Ilmani dan Darmojo.

Menurut tim penuntut umum, uang sebesar Rp1 miliar itu dimasukkan ke dalam tas dan diserahkan kepada Agusman di sebuah rumah makan di Jakarta. Setelah mengambil uang, Agusman mengembalikan tas itu.

Sementara itu, penyerahan uang kepada Hamka Yandhu dilakukan oleh Joko Pramono. Secara keseluruhan, Hamka Yandhu menerima uang dalam bentuk cek senilai Rp600 juta.

Tim penuntut umum menjelaskan, separuh dari uang itu dinikmati oleh Hamka sendiri sebagai imbalan karena keluarnya izin inisiatif penawaran saham PGN. Sedangkan separuh sisanya diteruskan kepada pimpinan DPR RI. Namun, tim penuntut umum tidak merinci siapa pimpinan DPR yang menjabat pada 2003 itu.

Sementara itu, sisa dana hasil pungutan terhadap kontraktor dinikmati oleh Joko Pramono (Rp700 juta), WMP Simanjuntak (Rp300 juta), dan beberapa pejabat PGN lainnya.

Kasus itu merupakan pengembangan pengusutan kasus korupsi yang menjerat mantan General Manager PGN Jawa Timur, Trijono.

Dalam persidangan Trijono terungkap aliran uang dari PT PGN kepada sejumlah anggota DPR.

Ketika bersaksi di persidangan, mantan Direktur Keuangan PT PGN, Joko Pramono mengaku telah menyerahkan cek senilai Rp200 juta kepada Hamka Yandhu.

Joko juga menyatakan telah membagikan cek senilai Rp50 juta sampai Rp75 juta kepada sejumlah anggota DPR yang hadir dalam rapat dengan PT PGN. Menurut Joko, anggota DPR yang menerima antara lain Ferial, Agusman, dan Asawi.

Menurut Joko, PT PGN telah menerima setoran uang sebesar Rp700 juta dari Trijono ketika menjabat sebagai General Manager PGN Jawa Timur.

Joko mengaku diperintah oleh Direktur Utama PGN untuk Washington Mampe Parulian Simanjuntak untuk membagikan uang itu kepada sejumlah anggota DPR.

Dalam kasus itu, KPK sudah memeriksa mantan anggota DPR Hamka Yandhu, Achmad Ferial Husein dan Agusman.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010