Jakarta (ANTARA News) - "Waduh, kapok kalau naik angkutan kota di Denpasar. Sudah ongkosnya mahal, penumpang harus nunggu lama sampai penuh," kata Budi Agustijono.

Lelaki asal Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, itu menceritakan pengalamannya menggunakan angkutan kota ketika dia mulai kuliah di jurusan Seni Rupa Universitas Udaya (Unud) pada 2000.

Di terminal, seorang calon penumpang angkutan kota tidak jarang harus menunggu sampai satu jam sebelum angkutan kota berangkat. Ongkosnya juga membuat masalah. Tahun itu, dari kampus Unud Denpasar ke Jimbaran, seorang penumpang harus mengeluarkan Rp2.500.

Rohmat yang berprofesi wartawan juga memiliki pengalaman serupa ketika pertama kali bekerja di Bali pada 2001. Lelaki asal Jawa Tengah dan bertempat tinggal di Jl Cokroaminoto, Denpasar, dan bekerja di Jl Hayam Wuruk yang berjarak tidak sampai 10 km.

"Saya harus naik dua kali angkot dengan ongkos antara Rp2.000 sampai Rp3.000. Kalau naik dua kali, bisa Rp4.000 sampai Rp6.000. Jadi pergi pulang rata-rata menghabiskan Rp10.000 sehari. Padahal gaji saya waktu itu hanya Rp450.000," katanya.

Untuk menyiasati banyaknya pengeluaran untuk transportasi, Rohmat harus memutar otak dan tidak jarang dia menumpang sepeda motor rekannya agar dalam sehari dia cuma naik angkutan kota dua kali pulang pergi.

Hal seperti itu tidak jauh berbeda dengan kondisi sekarang di mana moda transportasi darat di Denpasar belum banyak berubaha dan cenderung ditinggalkan penggunanya.

Angkutan kota tidak akrab di masyarakat Denpasar dan sekitarnya, yakni Kabupaten Badung dan Tabanan.

"Sekarang? Wah tambah parah. Harus nunggu lama dan ongkosnya sangat mahal," kata Budi Agustijono, seorang agen asuransi di Bali.

Bahkan, untuk jarak yang tidak sampai lima kilometer, seorang sopir angkutan kota mematok harga Rp5.000. Karena ongkosnya mahal dan antre lama, angkutan kota itu sering hanya berjejer di terminal, seperti di Terminal Ubung.

Ketua DPD Organisai Angkutan Darat (Organda) Bali Ketut Edi Dharma Putra juga mengakui bahwa armada angkutan kota dan angkutan pedesaan kian tersisih dan ditinggalkan penumpangnya.

Menurutnya, kondisi tersebut dipengaruhi banyak hal, misalnya tidak adanya pertmuan rute yang pasti, tidak tepatnya waktu berangkat, dan ongkos yang terlalu tinggi.

Ongkos sekali jalan yang mencapai Rp5.000 hingga Rp10.000 menyebabkan pengeluaran masyarakat, khususnya pekerja, menjadi sangat tinggi. Sehari seorang pekerja bisa mengeluarkan uang Rp20.000 untuk angkutan.

"Karena itu bisa dibayangkan bagi karyawan yang harus melewati dua atau tiga trayek. Berapa yang harus dikeluarkan?" katanya.

Menghadapi kondisi seperti itu, kata dia, sangat wajar jika masyarakat mencari alternatif, yakni sepeda motor.

Hal itu juga didukung oleh cara kepemilikan kendaraan roda dua yang sangat mudah, seperti banyaknya lembaga keuangan yang menawarkan kredit dengan uang muka ringan, hingga Rp500 ribu.

"Selain itu, dengan sepeda motor, biaya yang harus dikeluarkan untuk ke tempat kerja setiap hari kan tidak banyak. Bensin satu liter tidak habis untuk pergi pulang kerja," kata Rohmat.

Dampak dari kemudahan cara kepemilikan itu, pertumbuhan sepeda motor di Bali pesat. Data di Polda Bali menyebutkan, hingga Oktober 2009 rata-rata pertumbuhan sepeda motor di Pulau Seribu Pura itu mencapai 10.000 unit hingga 15.000 unit per bulan.

Banyaknya permintaan sepeda motor mendorong produsen untuk terus memenuhi kebutuhan masyarakat, seperti dilakukan PT Astra Honda Motor (AHM), yang pada Oktober 2009 telah mencapai produksi sepeda motor ke-25 juta di Indonesia.

Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) kemudian mencatat AHM sebagai produsen motor pertama di Indonesia yang memproduksi sepeda motor ke-25 juta.

Executive Vice President Director AHM Johannes Loman menuturkan, di tengah minimnya sarana transportasi yang layak saat ini, sepeda motor masih menjadi salah satu kendaraan yang paling efektif dalam menunjang kegiatan sebagian besar masyarakat Indonesia.

"Selaku produsen, sangat berperan dalam menunjang aktivitas masyarakat agar mereka lebih produktif dan efisien dalam bekerja dan beraktivitas," ujarnya.

Tidak hanya itu, katanya, AHM juga telah mendorong pertumbuhan ekonomi, diantaranya melalui penciptaan ribuan lapangan kerja.

Dari sisi produksi, hingga September 2009, AHM sudah melibatkan lebih dari 500 vendor dan penyedia, menyusul tingkat kandungan lokal produk Honda yang terus meningkat dengan rata-rata hampir 95 persen.

"Dari sisi penjualan dan purnajual, perusahaan menggandeng sekitar 1.600 dealer dan hampir 4.000 jaringan bengkel Astra Honda Autorized Service Station (AHASS), sekitar 7.000 toko suku cadang termasuk Honda Exclusive Part Shop (HEPS)," katanya.

Fakta ini, kata dia, secara tidak langsung menunjukkan bahwa pihaknya telah mendorong penciptaan ribuan lapangan kerja di Indonesia.

Secara keseluruhan AHM, dealer, AHASS, toko suku cadang, dan perusahaan terkait lainnya memiliki seperempat juta pekerja hingga September 2009.

"Jika dihitung dengan anggota keluarga yang ditanggung setiap pekerja, yang terkait langsung maupun tidak langsung, jumlahnya bisa mencapai satu juta orang," katanya.

Persoalan

Tingginya penggunaan sepeda motor itu bukannya tidak menimbulkan masalah.

Sepeda motor yang lebih lincah melaju di jalanan menyebabkan penggunanya banyak yang berkendara dengan kecepatan tinggi.

Persoalan yang timbul akibat semakin banyaknya kendaraan, termasuk roda dua, adalah jalan menjadi macet dan potensi kecelakaan di jalan juga tinggi.

Menurut Polda Bali, setiap hari tiga orang meninggal dunia karena kecelakaan di pulau ini.

Direktur Lalu Lintas Polda Bali Kombes Polisi Bambang Sugeng menyebutkan, tingginya angka kecelakaan di Pulau Dewata itu salah satunya disebabkan terus bertambahnya jumlah kendaraan, termasuk sepeda motor, tanpa diimbangi dengan pertambahan jalan.

Kabid Humas Polda Bali Kombes Polisi Gde Sugianyar mengatakan, pertumbuhan kendaraan yang tinggi, jika tidak dibarengi dengan pembangunan infrastruktur jalan atau dicarikan solusi lain, akan menimbulkan masalah yakni terjadinya macet.

Ia berharap adanya solusi dari pemerintah setempat, sehingga kemacetan arus lalu lintas tidak menjadi lebih parah, terutama di daerah perkotaan.

"Pemerintah memang tidak memiliki hak untuk membatasi orang membeli kendaraan, ataupun melarang kendaraan untuk datang ke Bali. Namun, pemerintah juga harus memperhatian fasilitas pendukung untuk mengimbangi pertumbuhan kendaraan yang ada," ujar Sugianyar.

Menurut dia, solusi penambahan infrastruktur jalan atau penyediaan angkutan umum yang nyaman dan memadai adalah syarat mutlak yang harus dilakukan pemerintah daerah untuk dapat meminimalkan kemacetan.

Hal yang tidak kalah penting dari semua itu adalah, produsen sepeda motor, termasuk PT AHM yang juga memiliki tanggung jawab untuk terus mendidik masyarakat mengenai cara berkendara yang aman dan nyaman.

Apalagi, saat ini, polisi, khususnya di Bali sedang menggalakkan program berkendara yang aman. Salah satu kewajiban pengendara roda dua dalam program itu adalah menyalakan lampu di siang hari.

Polda Bali akan menindak tegas pengendara sepeda motor yang tidak menyalakan lampu pada siang hari, yakni dengan dikenakan denda Rp100 ribu sesuai ketentuan Undang Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ).

"Ke depan kami akan terapkan sanksi itu secara tegas kepada pengendara sepeda motor yang tidak menyalakan lampu pada siang hari, apalagi malam hari," kata Kasubdit Dikyasa Dit Lantas Polda Bali AKBP I Ketut Karditha.

Untuk mendukung kegiatan tersebut, Polda Bali bekerja sama dengan teknisi-teknisi dari semua dealer sepeda motor guna mengubah saklar lampu sepeda motor menjadi otomatis menyala saat mesin dihidupkan.

PT AHM menyatakan bisa mendukung program "safety riding" itu dengan menyiapkan saklar yang diperlukan tersebut; langkah inovasi yang bukan hanya bagi kepentingan komersial, tapi juga untuk keselamatan pengendara.(*)

Pewarta: Masuki M. Astro
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010