Akademisi dan politisi bertanggung jawab mengenalkan para tokoh pendiri bangsa ke generasi muda
Jakarta (ANTARA) - Ketua DPP PDI Perjuangan Prof Hamka Haq mengingatkan bahwa akademisi dan politisi bertanggung jawab mengenalkan para tokoh pendiri bangsa kepada generasi muda, terutama generasi milenial.

"Kita sebagai akademisi dan politisi seharusnya merasa bertanggung jawab untuk memperkenalkan para tokoh pendiri negara ini pada masyarakat, khususnya kepada generasi muda, generasi milenial, agar lebih mencintai Tanah Air dan negaranya," kata Hamka Haq, di Jakarta, Selasa, saat webinar nasional bertema "Kontekstualiasi Nilai-Nilai Pancasila sebagai Dasar Negara, Falsafah Hidup Bangsa dan Ideologi Negara" dan Launching buku karyanya yang berjudul "Asas Kehidupan Berbangsa dan Bernegara : Jejak Pemikiran Soekarno" yang disiarkan secara daring.

Dengan mengenal, kata dia, generasi milenial termotivasi dan meneladani para tokoh bangsa, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir, Tan Malaka, KH Agus Salim, dan seterusnya.

Ketua Umum Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi), sayap organisasi PDI Perjuangan itu, mengakui hal itu menjadi motivasi dan harapan di balik penulisan buku tersebut.

Apalagi, kata Hamka, nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat sekarang ini telah banyak tergerus oleh ulah masyarakat sendiri, seperti maraknya aksi intoleransi mengatasnamakan agama yang menggerus nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

Demikian pula, dengan sila-sila yang lain, kata politikus yang membidangi keagamaan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa di DPP PDI Perjuangan itu, termasuk Persatuan Indonesia.

"Nilai Persatuan Indonesia tergerus dengan semakin kuatnya rasa kedaerahan dan kesukuan di kalangan masyarakat, khususnya dalam konteks pilkada," ujarnya.
Baca juga: Pengamalan Islam perkuat nasionalisme


Bahkan, kata dia, nilai Persatuan Indonesia juga tergerus dalam konteks kehidupan bernegara sejak era reformasi yang ditandai tiga hal.

Pertama, terhapusnya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) seiring kedudukan MPR yang tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara.

Kedua, berlakunya sistem pemilihan langsung, baik pemilihan presiden dan wakil presiden hingga pemilihan kepala daerah (pilkada).

Ketiga, terbitnya Undang-Undang Otonomi Daerah.

Akibatnya, kata dia, lahirlah pemimpin daerah dan pemimpin bangsa tanpa pedoman penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan karena tidak ada lagi GBHN.

"Visi misi gubernur tidak sama dengan presiden, demikian juga visi misi bupati dan wali kota tidak sama dengan gubernur dan presiden," katanya pula.

Karena itu, Hamka berpendapat sudah selayaknya MPR kembali memperoleh haknya menyusun GBHN dan DPR segera mengesahkan UU untuk memperkuat kelembagaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Baca juga: Anggota MPR: keteladanan penyelenggara negara semakin hilang

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020