Ambon (ANTARA News) - Konser suling bambu yang dilakukan kelompok "Moluccan Wind Bamboo Orchestra" memukau ratusan penonton yang memenuhi Taman Budaya Karang Panjang, Ambon, Kamis.

Konser itu merupakan ketiga kalinya digelar kelompok pencinta musik suling bambu yang merupakan musik khas masyarakat Maluku itu, pimpinan Maynart Reinold Nathaniel Alfons sejak dibentuk tahun 1996.

Maynart yang akrab dipanggil Rein itu juga bertindak sebagai komposer dan arranger sekaligus sebagai konduktor pada "Moluccan Wind Bamboo Orchestra" itu.

Moluccan Wind Bamboo Orchestra merupakan kelompok musik tradisional hasil binaan Taman Budaya Maluku sejak tahun 2006 dengan anggota dari berbagai profesi mulai dari siswa SMP, SMA, mahasiswa, tukang ojek, penyadap nira, pengemudi becak, montir bengkel, polisi, gusu SD, wiraswasta, PNS dan pensiunan PNS.

Konser tunggal yang didukung Marachristy Choir dari Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan (Stakpen) Ambon itu dibuka dengan tembang "Rayuan Pulau Kelapa" ciptaan Ismail Marzuki yang diaransir dengan musik ala keroncong untuk merangsang rasa nasionalisme masyarakat untuk mencintai tanah airnya.

Ratusan penonton acap kali bertepuk tangan sebagai penghargaan dan juga digiring untuk membangkitkan semangat keambonannya melalui lagu "Spirit Ambon" hasil ciptaan Wali Kota Ambon, Jopi Papilaja berkolaborasi dengan musisi beraliran balada asal Ambon Frengky Sahilatua dan dilanjutkan dengan tembang "I Have A Dream" milik grup musik ABBA, tetapi dinyanyikan penyanyi cilik Vivi Iaane dengan versi grup musik Westlife.

Para penonton pun dibuat terkesima dengan komposisi "Nurani Jagat" hasil karya Reynart yang merupakan perpaduan kontemporer antara suling bambu dipadu alat musik perkusi dan musik tradisional Ambon "totobuang" yang mengisahkan kehancuran bumi karena ketidakadilan, kepongahan dan keserakahan manusia.

Sedangkan pada komposisi musik "Kintal" (pekarangan) komponis sengaja menampakkan perbedaan sangat tajam dalam permainan bunyi-bunyi dengan pola rithim yang berbeda tetapi memiliki frase yang sama dan menghasilkan simphoni yang apik sehingga membuat para penonton semakin terlena.

Tiga mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta juga dilibatkan untuk mendukung konser tersebut yakni Ronaldo Alfons dengan permainan flutenya, Gregorius Geriyanto (piano) dan Erick Alfons pada biola dan musik tradisional Totobuang.

Di penghujung konser kelompok musik itu memainkan komposisi musik yang diberi judul "nesa" (bahasa salah satu suku di Maluku) yang berarti damai dan ditutup dengan tembang "Damai Bersama Mu" yang dinyanyikan peraih gold pada Pesparawi tingkat nasional tahun 2009 di Kalimantan Timur, Mariony Serhalawan.

Kadis Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Maluku, Florance Sahusilawane dalam kesempatan itu, mengatakan orkestra suling bambu telah berkembang di Maluku sejak abad 16 lalu dan menjadi bagian sejarah dan kebudayaan masyarakat yang hingga kini masih berkembang dengan baik.

Dia menilai, para seniman mampu mengeksploitasi kemampuan secara alamiah, yang merupakan bakal alam dengan memadukan warna suara berbeda suling bambu sehingga menghasilkan irama yang merdu untuk didengar setiap orang.

Pihaknya, kata Sahusilawane akan terus mengembangkan seni dan budaya tradisional termasuk suling bambu, terutama untuk membangun rasa cinta generasi muda terhadap warisan peningalan leluhur itu.

Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu dalam sambutannya yang dibacakan Asisten Pemberdayaan Rosnawati Arsyad menyatakan konser tersebut bernilai positif untuk pengembangan seni musik tradisional di Maluku agar tidak punah.

Selain itu menjadi sarana berkarya generasi muda yang inovatif guna memperkaya khasanah budaya bangsa.

"Konser ini menjadi momentum strategis dan sejalan dengan upaya pemprov Maluku mengembangkan dan mempromosikan seni budaya tradisional sebagai salah satu pilar utama penyangga pembangunan di daerah ini," ujar Gubernur.

Gubernur Ralahalu berharap seni musik khususnya suling bambu semakin diminati masyarakat termasuk generasi muda dan anak-anak, dan tidak saja menjadi musik pengiring dan penunjang ibadah saja, tetapi dapat mendunia. (*)

Pewarta: Luki Satrio
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009