Medan (ANTARA News) - Pemerintah tidak boleh lagi menggelar ujian nasional (UN) demi menjaga kepastian hukum sesuai keputusan Mahkamah Agung (MA), ujar seorang pengamat.

"Jangan lagi gelar UN karena MA telah melarangnya. Putusan MA itu telah berkekuatan hukum tetap," kata pengamat hukum dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Farid Wajdi, SH, MHum kepada ANTARA di Medan, Minggu.

Menurut dia, demi menjaga kepastian hukum pemerintah tidak boleh "mengakali-akali" putusan MA itu. Pemerintah harus memberi contoh kepada segenap warga negara bahwa hukum harus dihormati.

"Ketika MA memutuskan pemerintah tidak boleh menggelar UN, maka tak boleh ada dalih bahwa putusan MA itu tidak secara eksplisit melarang pelaksanaan UN. Kalau itu terjadi, pemerintah telah membuat contoh buruk dan menabrak rambu hukum," katanya.

Pemerintah, lanjutnya, boleh saja berencana mengajukan PK atas putusan MA, sebab dalam sistem hukum di Indonesia PK memang dimungkinkan. "Tetapi PK tak bisa menunda putusan MA," katanya.

PK sendiri merupakan upaya hukum yang luar biasa, tapi PK tidak dapat menunda eksekusi putusan yang ada karena menunda eksekusi putusan MA berarti menghalangi penegakan hukum.

"Momentum menegakkan hukum makin jauh kalau pemerintah tetap bersikukuh melaksanakan UN," katanya.

Menurut ilmu hukum, jelasnya, PK dapat diajukan dengan dua syarat. Pertama, adanya novum (bukti baru) yang tidak disinggung dalam rangkaian sidang sebelumnya, baik di tingkat pertama, banding maupun kasasi. Kedua, bila ditemukan kekeliruan amat nyata dari hakim kasasi yang bisa dibuktikan oleh hakim sidang PK, apakah salah persepsi hukum atau ketidakmengertian hakim.

Tapi, menurut Farid, sesuai dengan informasi yang ada, kasasi pemerintah soal pelaksanaan UN ditolak oleh MA pada 14 September 2009 lalu. Dengan demikian, MA mengabulkan gugatan subsider para penggugat yakni 58 anggota masyarakat yang terdiri dari siswa, wali murid, guru dan pemerhati pendidikan.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009