Bandung (ANTARA News) - Peneliti Otonomi Daerah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr Syarif Hidayat menduga adanya "mafia" pemekaran daerah karena banyak pemekaran daerah terjadi karena kolaborasi kepentingan elit politik daerah, pejabat dan pemodal.

"Ya, kemungkinan adanya mafia pemekaran daerah itu bisa terjadi. Lihat saja, bagaimana kepentingan elit politik di daerah yang berkolaborasi dengan pejabat, dan pengusaha," katanya, Minggu.

Menurut Syarif, adanya "mafia" pemekaran ini. Karena banyak pejabat "berstandar ganda", di lingkup eksekutif dia sebagai pejabat, namun di luar bertindak sebagai konsultan pemekaran.

"Banyak pejabat eksekutif yang justru dia bertindak sebagai konsultan,"tambahnya. Yang lebih parah lagi, katanya, malah ada yang bukan pejabat eksekutif, namun bisa menekan pejabat untuk meloloskan proposal pemekaran daerah.

"Elite-elite politik ini bisa menekan pejabat untuk meminta agar proposal pemekaran itu diloloskan,"terangnya.

Oleh karena itu, kata Syarif, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI harus berani melakukan evaluasi secara transparan terhadap pemekaran daerah. Karena ternyata selama reformasi ini pemekaran itu tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat.

"Mestinya pemekaran daerah makin menyejahterakan, dan memberdayakan rakyat, tapi yang terjadi sebaliknya banyak uang negara hanya dihambur-hamburkan. Akibatnya, rakyat masih miskin, bodoh, tertinggal dan sulit menghadapi hidup," tambahnya.

Menurut Syarif Hidayat, agar pemekaran itu agar tidak terjadi secara sembarangan. Maka persyaratannya harus diperketat, memberikan status adminstratif terlebih dahulu dan tidak langsung otonomi daerah.

"Sehingga daerah itu akan teruji kesiapan dan tidaknya untuk menjadi daerah otonom. Kalau siap, maka bisa dimekarkan dan jika tidak, maka akan tetap digabung dengan daerah yang lain," ujarnya.

Lebih jauh kata Syarif, DPD harus mendorong moratorium (penghentian sementara) pemekaran itu dengan mengevaluasi secara menyeluruh terhadap daerah-daerah yang sudah dimekarkan dengan kategori; daerah yang tidak mampu, kurang mampu dan sudah mampu.

Atau setidaknya ke depan yang harus dilakukan adalah lebih difokuskan pada pengelolaan-mengendalikan hubungan yang bias antarelit maupun penyelenggaraan pemerintahan setelah pemekaran tersebut.

Syarif Hidayat menilai bahwa yang penting untuk dicatat, implikasi dari perluasan partisipasi masyarakat pada masa transisi menuju demokrasi ini adalah semakin transparannya kompetisi kepentingan elit massa.

"Fakta ini sulit dihindari karena para elit itu mendominasi proses politik baik dalam pengambilan kebijakan maupun pelaksanaannya, maka kolusi dan persekongkolan politik keduanya hanya untuk memperjuangkan kepentingan masing-masing.

Di situlah kecenderungan terjadinya bias hubungan antarelit dalam pemekaran daerah,tutur Syarif lagi.

Sementara itu, Pengamat sosilogi FISIP UI, Prof Dr Thamrin Amal Tomagola menilai ternyata semangat amandemen UUD 1945, soal adanya otonomi daerah selama ini lebih pro modal, ketimbang pro rakyat.

Padahal UUD diamandemen itu agar pro rakyat. Sehingga demokrasi akan terwujud secara chek and balances," tegasnya

Menurutnya,bagaimana juga desentralisasi merupakan bagian demokrasi itu sendiri. Sehingga tidak ada demokrasi tanpa desentralisasi-pembagian kekuasaan dengan masyarakat daerah. "Desentralisasi itu sangat penting untuk menjaga check and balances hubungan daerah dan pusat," ungkapnya.

Sedangkan, anggota DPD, Prof Dr Farouk Muhammad mendukung upaya amandemen UUD 1945 tersebut, karena terbukti hasil amandemen selama ini menjadikan sistem politik Indonesia makin semrawut, tumpang-tindih dan tidak terjadi sinerji kelembagaan. Sehingga bukan saja korupsi yang tetap berlangsung, tapi sistem ini sulit menghasilan pemerintahan yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel.

"Ironisnya lagi pemerintah tidak mempunyai ketegasan dan keberanian sikap dalam mengambil keputusan seperti dalam kasus kriminalisasi KPK. Ini bukti bahwa pemimpin itu tidak memiliki strong," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009