Bogor (ANTARA News) - Mikroba "google" membuka peluang untuk mereklamasi lahan kritis, termasuk di antaranya lahan yang terkena semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.

Penemu mikroba "google", Ir Ali Zum Mashar MSi, bahkan menjamin lahan yang sudah tertimbun lumpur Lapindo bisa ditanami lagi dalam tempo satu tahun dengan perlakuan mikroba tersebut.

"Dengan menggunakan mikroba tersebut, lumpur Lapindo saya jamin bisa ditumbuhi tanaman dalam tempo satu tahun," katanya di Bogor, Senin.

"Paling tidak, teknologi ini bisa membantu meminimalisir dampak dari melubernya lumpur tersebut, karena selama ini kita hanya fokus pada bagaimana menghentikan semburan lumpur itu," kata peneliti Depnakertrans yang tengah mengambil program S3 di Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.

Ali merupakan penerima Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa 2009 dari Pemerintah atas temuan mikroba "Google" yang diberi nama Bio P 2000 Z.

Produk mikroba yang diformulasikan dari 18 mutan mikroba unggul tersebut telah diproduksi secara massal dalam bentuk pupuk hayati cair.

Produk yang sudah memperoleh hak paten internasional itu mengandung mikroba "Google" yang sudah dibuat dalam keadaan mati suri dan bisa bertahan hingga dua tahun.

Mikroba "Google" merupakan jenis mikroba yang berperan sebagai pelacak potensi mineral tanah yang tersembunyi sebagai bioaktivator tanah sehingga mampu mengkondisikan kesuburan secara alami serta menetralisir racun dalam tanaman dan membangkitkan gen yang tertidur dalam tanaman tersebut.

Disebut mikroba "Google" karena fungsinya seperti mesin pencari Google.

Ia mengatakan, reklamasi lahan yang tertimbun lumpur Lapindo tidak bisa dilakukan dengan tanaman. "Masalah yang dihadapi adalah lumpur ini mengandung unsur-unsur logam yang bersifat racun terhadap tanaman serta kecilnya partikel lumpur sehingga tanah tidak berpori," katanya.

Selain lumpur Lapindo, mikroba "Google" juga bisa dimanfaatkan untuk mereklamasi lahan bekas tambang, limbah tambang (tailing) dan mengurai sisa minyak (sludge).

Penggunaan mikroba ini di lahan "normal" mampu meningkatkan produksi padi hingga dua kali lipat dan kedelai hingga tiga kali lipat.

Dari Gambut

Ali mengatakan, penemuan mikroba ini bermula dari keprihatinannya saat masih bertugas di Kalimantan sebagai Kepala UPT Transmigrasi.

"Saat itu Pemerintah mempunyai program sejuta lahan gambut, dan pada tahun 1996 sudah membuka sekitar 41 juta hektare lahan gambut di dekat Barito Selatan," katanya.

Namun, lahan gambut tersebut ternyata tidak bisa ditanami karena tanah tetap masam meski telah diberi kapur serta adanya kandungan logam terendapkan yang menjadi racun bagi tanaman dan mikroba.

"Setiap tanam selalu gagal, baik itu tanam padi, jagung, kedelai, sayur. Padahal agro input dari Pemerintah sudah luar biasa," katanya.

Bahkan, saking masamnya tanah gambut itu, petani-petani di wilayah itu sebagian besar sudah tidak mempunyai kuku kaki dan tangan. "Itu karena logam yang berinteraksi di tanah masam `memakan` kalsium kuku," katanya.

Meski demikian ia masih menemukan beberapa jenis tanaman yang sanggup hidup di tanah yang masam tersebut sehingga Ali kemudian mencoba menanam kedelai dan ternyata bisa hidup dengan akar lebat dan rhizobium.

"Tanaman itu bisa hidup karena adanya mikroba tertentu di dalamnya," katanya.

Mikroba itu kemudian dikembangkannya dan dikloning dengan beberapa jenis mikroba lain.

Temua itu terus dia kaji hingga akhirnya dia menemukan mikroba "Google".
(*)

Oleh
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009