Oleh Bob Widyahartono *)

Jakarta (ANTARA News) - Olimpiade Beijing pada 8 – 24 Agustus 2008 dan disusul perayaan 60 tahun didirikannya China baru, 1 Oktober 2009, tampak berlangsung spektakuler sekaligus penuh keberhasilan memperlihatkan kemajuan di Negeri Tirai Bambu.

Apa yang menjiwai semangat bangsa China mulai dari persiapan sumber daya manusia (SDM), infrastruktur fisik yang berbekal teknologi informasi modern yang demikian hebat itu? Dedikasi yang demikian tinggi bukan karena hanya untuk show, tapi untuk menunjukkan bahwa bangsa China memiliki elan vital luar biasa.

Selain China, SDM negara tetangganya, Jepang dan Korea Selatan (Korsel) sebagai negara kawasan Asia dengan semangat tinggi untuk berprestasi patut pula diacungi jempol.

Semangat SDM ketiga negara tersebut senantiasa menjiwai budaya produktivitas. Apakah budaya produktivitas bukti sejarah dan dengan sendirnya atau melalui pendidikan formal dalam masyarakat (society education)? Ada baiknya ditelaah beberapa unsur budaya yang menarik dari ketiga negara tersebut.

China,jauh-jauh hari sebelum persiapan Olimpiade 2008 sampai dengan penyelenggaraan hari ulang tahun ke-60 China baru, dan hal tersebut dapat terpantau secara gamblang dalam berbagai siaran media elektronik dan media pers.

Terungkap sikap dan sifat rajin dan tidak kenal lelah dalam mencari pengetahuan dan ketrampilan, sehari hari maupun melalui penelitian (research ). dasar budaya kekeluargaan: 1) kewajiban menjunjung tinggi nama keluarga, 2) menerima disiplin kerja, 3) ketakutan berada dalam suasana tidak nyaman (fear of insecurity) memasuki masa depan, 4) orientasi mengelompok, awalnya fungsional dan dengan kemajuan sarana komunikasi termasuk teknologi informasi menjadi lintas fungsional, 5) menumbuhkan jaringan kerja yang saling mendukung dan saling menguntungkan atas dasar saling percaya dengan menjunjung tinggi tata krama dan etika. Berprestasi dulu, kemudian penghargaan menyusul.

Dalam sejarah bangsa China terhitung bangsa tidak banyak tuntutan hasil prestasi, baik di tingkat bawah maupun eselon menngah sampai ke puncak pimpinan. Bonus akan mengalir bagi prestasi prima. Umumnya mereka tidak cepat lelah (tireless workers). Sejak tahun 1980an dengan kebijakan terbuka dan reformasi (gaige kaifang), bangsa China mengejar ketinggalan mereka dengan semangat kerja, dalam banyak situasi dan kondisi bekerja dalam semangat berkelompok (group orientation). Sama dengan dasarnya bangsa Jepang dan Korea, bekerja keras untuk kepentingan dan kesejahteraankelopok termasuk individual, demi peningkatan kesejhateraan keluarga termasuk harmoni dengan sekelilingnya.

Ajaran Konfusius yang pernah dihambat dalam eranya Mao Zedong (1949-1976), sejak 1980an kembali dengan semangat baru yang melandasi etos kerja dan etika China. Bekerja keras, tidak hanya karena mereka dididik untuk menghargai kerja keras, tetapi demi penningkatan kekayaan dan derajat sosial (social esteem). Keberhasilan melalui kerja keras, sekalipun mengalami kegagalan, untuk menghargai jerih payah leluhur mereka.

Sementara itu, masyarakat Jepang memiliki jiwa atau semangat makoto (bersungguh-sungguh) dengan menjunjung tinggi kemurnian batin dan motivasi, serta menolak adanya tujuan berkaryanya semata-mata demi menonjolkan kepentingan diri sendiri. Ada yang menyebut bermental samurai sebagai keteguhan hati untuk mencapai sesuatu tujuan dalam bertindak yang pantang menyerah, karena sebelum menghunus samurai sudah dipikirkan matang.

Satu hal pasti adalah bahwa baru beberapa gelintir pengamat dan pebisnis di Indonesia yang pernah mengamati juga etos kerja dengan landasan etika menyerap beberapa ungkapan diajarkan oleh biarawan Zen, Suzuki Shosan (1579-1655).

Kalau ditarik ke masa depan, maka hal yang menarik adalah bahwa Zen Buddhisme mempunyai dampak dalam masyarakat Jepang sampai dewasa ini. Hal ini pula yang sepatutnya berkembang di Indonesia yang memiliki banyak nilai keluhuran dari kearifan budaya lokal.

Suzuki Shosan menganggap keserakahan yang disebut Weber sebagai “pengejaran kekayaan” sebagai racun rohani, meskipun pada saat yang sama “pekerjaan merupakan praktek Buddhis”. Melalui berkarya manusia mampu mencapai kebudhaan”. Ia memandang pekerjaan duniawi sebagai bentuk asketisme atau laku tapa. Setelah itu dalam era Tokugawa, Meiji terungkap unsur humanisme yang menjiwai etos kerja yang dijiwai semangat makoto dan hingga kini.

Orang Jepang seabad lalu tidak pernah bersentukan dengan aliran etika Protestan, yang menurut Max Weber merupakan cikal bakal etika kapitalisme. Masyarakat Jepang tanpa memahami Injil Kristen telah mengembangkan sistem kapitalisme sendiri dan kenyataan ini meskipun jiwa kapitalisme Jepang berbeda dengan Barat. Banyak peneliti Asia luar Jepang, termasuk Indonesia baru belakangan ini menyadari semangat Jepang yang menjiwai kapitalisme di Jepang yang dikenal sebagai kapitalisme humanistik.

Bagi bangsa Korea dengan semangat etos kerja hahn merupakan keunikan tersendiri. Semangat itu mengungkapkan suatu daya psikologis (psychic force).

Boye De Mente (peneliti masyarakat Asia Timur tahun 1990an) menyebut hahn merupakan suatu energi yang menggerakkan hasrat berpendidikan, bekerja dengan tekad tak kenal menyerah, berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan, memiliki disiplin dan yang sekalipun mencurahkan dana dan daya, serta waktu tetap mengorbankan diri untuk peningkatan mutu kehidupan dan penghidupan keluarga dan negara. Perilaku dasar dan karakter (basic conduct and character) orang Korea itu dapat ditelusuri dalam dasar dasar dan ajaran Konfusius yang meraspi budaya negara secara sosial dan politis sejak enam abad lalu .

Walaupun pengaruh Barat dalam hal ini Amerika Serikat (AS) sejak 1950an, pada budaya Korsel tampak di daerah perkotaan, namun tetap jiwa perilaku dan sikap dasar di luar kota kota atau daerah pedesaan masih terjaga. Tetap adanya respek pada yang lebih memiliki wewenang, yang lebih tua dan yang terpelajar (respect for authority, aged and the learned). Keluarga tetap dijaga dengan sikap harmoni.

Tetap menjaga etika: sikap jujur, memegang janji, dan menghargai waktu pihak ketiga. Etos kerja bangsa Korea memunculkan produktivitas dalam karya. Ini bukan berarti tidak ada kekecualian. Sama seperti setiap bangsa juga, ada saja manusia Korea yang memunculkan kelemahan dalam sikap moral, meskipun umumnya bangsa Korea dengan jiwa ‘hahn’ berusaha menjaga identittas diri sebagai bangsa terhormat.

Masyarakat bisnis dan organisasi kemasyarakatan kita terutama tingkatan kelas menengah (middle class) yang dalam organisasi SDM (sumber daya manusia) eselon manajemen menengah sebagai penggerak, perlu mulai menyadari dan memahami sisi positif etos kerja sumber daya manusia China, Jepang, Korsel yang menjiwai budaya produktivitas tinggi mereka.

Hal itulah yang agaknya sangat berarti bangsa Indonesia yang kini memasuki babak pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono. Bagi generasi muda Indonesia, semangat yang menjiwai bangsa China, Jepang dan Korsel juga dapat ditelaah dengan mengangkat kearifan lokal dalam abad Asia (abad 21), dengan kata lain mau mulai belajar dari “Utara”, yakni Asia Timur, dalam menggali sekaligus mengamati perilaku, ketrampilan dan pengetahuan, untuk mampu berprestasi lebih bermutu, serta tidak melulu dari Barat/Amerika Serikat dan Eropa. (*)

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2009