Kupang (ANTARA News) - Mantan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi Timor Timur, Eurico Guterres menilai, Presiden Timor Leste, Ramos Horta berstandar ganda dalam menentukan sikapnya soal masa depan hubungan negara baru itu dengan Indonesia.

"Pada satu sisi ada kesepakatan Komisi Kebenaran dan Perdamaian (KKP) untuk tidak lagi mengungkit kesalahan masa lalu, namun pada pihak lain Horta meminta Indonesia mengembalikan tulang-belulang seorang pejuang kemerdekaan Timor Leste, Nicalao Lohbato," katanya ketika ditanya pers di Kupang, Kamis.

Eurico mengecam permintaan Presiden Horta tersebut dan menyebut Horta tidak serius membangun hubungan, karena terus-menerus mencari kesalahan Indonesia dan memberikan kesan seolah-olah Timor Leste tidak pernah melakukan kesalahan.

"Kalau Presiden Ramos Horta minta tulang belulang Nicolao Lohbato dikembalikan, saya juga minta pemerintah Timor Leste mengembalikan tulang-belulang keluarga kami yang dibunuh dalam konflik pada tahun 1912, 1959, 1975 dan sebagainya," katanya menegaskan.

Ketua DPW Partai Amanat Nasional (PAN) Nusa Tenggara Timur (NTT) itu diwawancarai oleh pers di Kupang ketika mengikuti seminar sehari tentang Peringatan 10 tahun Timtim lepas dari NKRI dan keberadaan WNI Eks Timtim di pengungsian.

Eurico mengungkapkan, banyak keluarga dari para pejuang integrasi Timtim dengan Indonesia, termasuk keluarga Guterres yang dibunuh, tetapi pihaknya tidak pernah meminta Timor Leste untuk mengembalikan tulang-belulang ke Indonesia.

Permintaan Presiden Horta tersebut, disebutnya sebagai tidak sejalan dengan semangat dasar yang tengah dibangun Komisi Kebenaran dan Perdamaian (KKP).

Dia mengatakan, KKP yang beranggotakan utusan kedua negara sudah sepakat untuk tidak lagi mengungkit-ungkit masa lalu, namun pada saat yang sama, Presiden Horta justru meminta tulang-belulang Lohbato.

"Ini sebuah sikap yang berstandar ganda, padahal banyak juga keluarga dan nenek moyang warga eks Timtim yang kini tinggal di Indonesia terbunuh dalam konflik pada tahun 1912, 1959, 1975 dan terakhir 1999," katanya.

Konflik Timtim, menurut Eurico, tidak bisa dilihat hanya sepenggal-sepenggal yakni pada tahun 1999 saja, tetapi juga serangkaian konflik lain seperti pada tahun 1912, 1975 dan 1999.

"Kita harus melihat konflik Timtim secara utuh dengan mengacu pada rangkaian peristiwa tersebut. Karena itu, Presiden Horta tidak bisa secara sepihak meminta tulang-belulang pejuang kemerdekaan Timor Leste, karena di pihak kelompok pro integrasi pun banyak yang dibunuh," katanya.

Ia memuji kemajuan yang dicapai KKP yang melibatkan utusan kedua negara, seperti dalam kasus pembebasan Maternus Bere, Sekretaris Kecamatan Kobalima Timur, Kabupaten Belu yang ditangkap Kepolisian Timor Leste pada bulan lalu.

"Ini sebuah kemajuan yang luar biasa. Antara Indonesia dan Timor Leste sudah saling memahami satu sama lain," katanya. (*)

Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009