Jakarta (ANTARA News) - Empat ratus tahun sebelum Kristus lahir, di Yunani purba sudah ada orang yang mengupas tuntas arti persahabatan. Siapa lagi kalau bukan filsuf jalanan yang mengaku tahu bahwa dirinya tidak tahu. Dialah Sokrates, yang oleh murid terpandainya, Plato, disebut sebagai manusia paling bijak di bumi.

Perbincangan ihwal sahabat dan persahabatan itu disampaikan oleh Plato dalam bentuk dialog berjudul "Lysis", yang terjemahan Indonesianya dikerjakan dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, A Setyo Wibowo, dan diterbitkan "i Publishing" (2009).

Membaca teks kuno tidaklah mudah. Apalagi untuk perkara filosofis, yang tak disampaikan dengan lugas, tapi berkelok-kelok dengan argumen yang kadang saling berbantah seperti cara dialog Sokrates ini.

Hal yang menakjubkan dari filsuf adalah pilihan tema diskursus, dalam hal ini tema persahabatan, yang selalu relevan sepanjang zaman. Meski jarak antara masa kini dan era Sokrates sudah 2.500 tahun, apa yang diungkapkan Sokrates tampaknya masih menarik minat orang untuk menyimaknya.

Ya, persahabatan begitu senantiasa up to date, atau ibarat evergreen tree yang tak lekang di makan zaman. Lagu terbaru di lingkungan anak band yang bertema persahabatan mengandaikan bahwa "persahabatan bagai kepompong", yang "mengubah ulat jadi kupu-kupu".

Sokrates tidak memilih jalan linear untuk menyimpulkan apa arti sahabat. Dalam dialog itu, Sokrates menggiring lawan bicaranya, di antaranya seorang pemuda tampan bernama Lysis, untuk menuju pengertian sahabat dan dengan entengnya mementahkan kembali kesimpulan yang mulai terbentuk.

Berbagai elemen yang terlibat dalam relasi persahabatan ditelaah oleh Sokrates. Kondisi yang mensyaratkan persahabatan juga ditilik dari berbagai sudut. Tinjauannya pada tema persahabatan ini cukup komprehensif.

Sebelum membuat kesimpulan sementara mengenai kondisi yang memungkinkan hadirnya persahabatan, Sokrates berargumen mengenai sejumlah kemungkinan terbentuknya relasi persahabatan.

Bagi Sokrates, yang mendasari sebuah persahabatan adalah kebaikan. Hal ini hanya dimungkinkan pada mereka yang masuk kategori "yang tidak baik sekaligus tidak jahat". Apa makna "yang tidak baik sekaligus tidak jahat" ini?

Karakter macam ini hanya dimiliki oleh seorang yang masih merasa "tidak berpengetahuan" (tidak baik) sehingga dia akan memburu persahabatan dengan orang yang berpengetahuan, dan orang yang merasa belum mempunyai kearifan sehingga merasa perlu mencari kearifan (tidak jahat).

Bagi orang-orang yang merasa sama-sama berpengetahuan dan merasa sama-sama bijaksana, persahabatan sejati tak mungkin terjalin. Begitu juga di antara orang sama-sama bodoh dan jahat, persahabatan tak akan terjalin abadi. Menurut Soekrates, sesama orang jahat bisa saja bersahabat selama mereka punya kepentingan bersama namun persahabatan di antara sesama orang jahat akan berakhir di ujung pengkhianatan.

Apakah pendapat Sokrates ini masih valid untuk kondisi saat ini?

Itulah yang mungkin pastas diverifikasi. Tak mudah untuk melakukan verifikasi atas pendapat-pendapat Sokrates. Metode paling otentik untuk menguji keabsahan pendapat Sokrates ini adalah pribadi orang masing-masing dengan merujuk pada pengalaman pribadi.

Namun, problem esensial di sini adalah untuk menetukan apakah seseorang bisa secara obyektif menilai diri sendiri sebagai orang yang "baik", "tidak baik", "jahat", "tidak jahat"?

Dialog Sokrates ini bisa menjadi terasa lebih mudah dipahami karena penerjemah memberikan catatan berupa tafsirnya atas dialog Sokrates dengan rujukan yang cukup lengkap.

Tanpa bantuan cacatan dari penerjemah, pembaca akan merasa kesulitan dan bisa tersesat dalam memahami dialog Sokrates ini.

Bahkan sebetulnya, membaca bagian cacatan tafsir penerjemah atas dialog Sokrates inilah yang lebih memberikan eksplanasi mengenai makna persahabatan menurut filsuf yang akhirnya dihukum mati karena dianggap meracuni pikiran kaum muda Athena.

Filsuf Franz Magnis Suseno menganjurkan orang Indonesia membaca buku ini. Nilai buku ini luar biasa, katanya. Bagi orang Indonesia yang oleh sebagian turis mancanegara pernah dicap sebagai bangsa yang santun, dengan membaca buku ini mungkin akan bisa menambah satu cap positif lagi: bangsa yang bersahabat.(*)

Oleh oleh Mulyo Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009