Depok, (ANTARA News) - Kawin campur perempuan peranakan Arab Ba-Alawi di Jakarta (disingkat perempuan Ba-Alawi) dengan pria luar saat ini mengalami banyak peningkatan.

Hal tersebut dikatakan Kunthi Tridewiyanti, dalam Disertasinya yang berjudul Identitas Etnik Gender dan Pluralisme Hukum Kajian Perempuan Peranakan Arab dalam Perkawinan di Jakarta.

Kunthi mempertahankan Disertasi tersebut, di ruang Auditorium AJB Gedung F. Lt 2 FISIP UI, Kampus UI, Depok, Jumat.

Ia mengatakan perkawinan campuran tersebut dapat terjadi antara perempuan Ba-Alawi dengan laki-laki di luar komunitas Ba-Alawi yaitu dengan laki-laki muslim, mualaf, atau bahkan dengan laki-laki beda agama dimana masing-masing pihak tetap bertahan pada agamanya.

Namun perkawinan beda ini masih amat langka dan ditolak keras oleh komunitasnya. Setelah tahun 1974, perkawinan campuran yang dilakukan oleh perempuan ditunjang oleh keragaman hukum yang berlaku, yaitu hukum adat, hukum Islam, dan hukum negara. Perempuan Ba-alawi dapat memilih melakukan perkawinan siri, perkawinan sesuai dengan ketentuan negara (disebut perkawinan KUA) atau kedua-duanya.

Dikatakannya perempuan merupakan aktor yang dapat mengembangkan strategi-strategi untuk reproduksi kebudayaan dan resistensi terhadap budaya patriarki.

Perempuan sebagai aktor pada prinsipnya didukung juga oleh aktor lain, yaitu laki-laki dalam keluarga, ulama/tokoh masyarakat, organisasi volunter dan aparat negara (terutama institusi agama).

Reproduksi kebudayaan dan resistensi yang dilakukan oleh perempuan itu terlihat pada arena-arena sosial, yaitu pada media kekerabatan (seperti dalam silsilah keluarga dan perkawinan), media religi, dan media sosial.

Pengalaman perempuan peranakan Arab Ba-Alawi di Jakarta (disingkat perempuan Ba-Alawi) dalam sistem perkawinan, serta peran mereka Sebagai aktor reproduksi kebudayaan dan resistensi dengan tujuan menjelaskan tentang pengalaman mereka dalam perkawinan yang diharapkan (preference marriage).

Sebagai bagian dari komunitas Ba-Alawi dikonfrontir oleh nilai-nilai perkawinan yang diharapkan berlandaskan pada sistem patrilinear nilai sekufu/kafaah yang dipengaruhi oleh madzhab Syafei.

Pemaknaan yang ketat terhadap nilai sekufu/sekafaah menyebabkan perkawinan diharapkan berbentuk endogami bangsa (perkawinan sesama Ba-Alawi) untuk perempuan, sedangkan eksogami bangsa (perkawiann campuran) diperkenankan bagi laki-laki.(*)

Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009