Brisbane (ANTARA News) - Sejumlah tokoh Muslim Australia sangat terkesan dengan perkembangan umat Islam di Indonesia yang mereka nilai berhasil mengintegrasikan pendidikan agama dengan pendidikan umum, kata Dosen Universitas Islam Negerie (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Cucu Surahman.

"Mereka menaruh harapan yang besar di kemudian hari pada kemajuan Islam di Indonesia. Intinya mereka yakin bahwa (umat) Islam Indonesia akan maju," kata Cucu Surahman yang berkesempatan bertemu beberapa tokoh komunitas Muslim di Melbourne berkat program pertukaran pemimpin muda Muslim Australia-Indonesia.

Kepada ANTARA yang menghubunginya dari Brisbane 13 Juni lalu, ia mengatakan, harapan dan keyakinan positif Muslim Australia pada Muslim Indonesia itu terungkap dalam pertemuan dirinya bersama Mohammad Hasan Basri dan Muhammad Subhan Setowara dengan Haidar Gulam, Fatih Erol dan Maha Sungkar.

Haidar Gulam adalah Muslim Australia keturunan Pakistan, sedangkan Fatih Erol berdarah Turki dan Maha Sungkar adalah seorang Muslimah yang bekerja sebagai polisi dan pernah mengunjungi Indonesia sebagai peserta program pertukaran pemimpin muda Muslim Australia-Indonesia, katanya.

Selain bertemu tokoh-tokoh komunitas Muslim, selama di Melbourne, ia dan kedua rekannya juga berkesempatan berjumpa kalangan akademisi di Universitas Melbourne dan Monash, para tokoh agama Katolik, Kristen, dan Yahudi, serta berbicara tentang agama dan perubahan antargenerasi di Indonesia, kata Cucu.

Ia mengatakan, perjalanan pertamanya ke Australia itu telah membuka matanya bahwa rakyat Australia sangat beragam baik agama dan latarbelakang bangsa asalnya. "Untuk melihat keanekaragaman Australia itu, kita bisa melihatnya dari kehadiran kaum imigran," katanya.

Para migran yang datang dari berbagai belahan dunia itu membawa kebiasaan dan budaya mereka, kata akademisi yang aktif dalam kegiatan Yayasan Islam At-Taqwa dan majelis taklim ini.

Cucu mengatakan, ia pun sangat terkesan dengan dialog-dialog antarkeyakinan yang dibangun berbagai organisasi lintas-agama Australia paska-insiden 11 September 2001 di Amerika Serikat. Dari beberapa organisasi yang sempat dikunjungi, ia mendapati mereka memiliki kegiatan rutin, seperti pertemuan dan seminar, katanya.

Di Komunitas Dandenong misalnya, berkumpul penganut beragam agama, seperti Hindu dan Islam. Kegiatan besar yang sedang disiapkan adalah konferensi agama-agama dunia pada 3-9 Desember 2009, katanya.

Seperti halnya Cucu, Mohammad Hassan Basri, aktivis Pusat Kajian Fikih dan Masyarakat (CFSS) Yogyakarta yang juga ikut program pertukaran yang didanai Lembaga Australia-Indonesia (AII) Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia ini, juga terkesan pada fenomena dialog antar-keyakinan di negara itu.

Menurut dia, warga Australia yang terlibat dalam organisasi-organisasi yang mengusung kegiatan dialog antar-keyakinan (interfaith) itu sudah memandang kegiatan-kegiatan yang mereka laksanakan sebagai "kebutuhan" untuk saling mengenal sedangkan di Indonesia, kegiatan serupa belum terbebas dari rasa curiga.

Organisasi-organisasi sejenis di Indonesia itu antara lain dicurigai membawa isu pluralisme yang berujung pada usaha untuk menyatukan agama padahal tidak seperti itu, katanya.

"Nah, di Australia, setelah insiden 11 sept 2001, banyak orang yang berbeda agama justru melihat kebutuhan untuk saling mengenal. Dengan sendirinya, mereka berisiatif bertemu dan mendirikan perkumpulan semacam `Dandenong Interfaith Community`," katanya.

Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Muhammad Subhan Setowara, mengatakan, program pertukaran pemimpin muda Muslim Australia-Indonesia yang diikutinya ini telah membuka matanya bahwa "Australia itu bak sebuah pasar besar multikulturalisme".

Sebagai pasar bebas multikulturalisme, orang-orang yang berbeda dengan arus utama mayoritas rakyat Australia tetap merasa nyaman menunjukkan eksistensi mereka. Kondisi yang sama belum sepenuhnya dirasakan kelompok minoritas di Indonesia, kata anggota Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) ini.

Selama program yang berlangsung dari 8 hingga 21 Juni itu, ketiga pemimpin muda Muslim Indonesia itu berkesempatan bertemu berbagai kalangan agamawan, akademisi, media, parlemen, dan pejabat pemeritah di kota Melbourne, Canberra dan Sydney.

Sejak pertama kali diluncurkan tahun 2002, program pertukaran ini sudah diikuti sedikitnya 74 orang tokoh muda Muslim kedua negara.
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009