Surabaya (ANTARA News) - Ketua Bidang Multimedia Persatuan wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Priyambodo RH, meminta kasus Prita Mulyasari dengan RS Omni International, Tangerang, Banten, diselesaikan dengan cara mediasi.

"Karena sudah terlanjur masuk ke ranah hukum, majelis hakim sebaiknya mengupayakan penyelesaian secara mediasi dapat terwujud," katanya kepada ANTARA per telpon dari Surabaya, Jumat.

Pengamat cyberjournalism itu mengemukakan hal itu menanggapi kasus "curhat" (curahan hati) Prita Mulyasari tentang pelayanan RS Omni International yang dipublikasikan lewat milis kepada rekan-rekannya yang akhirnya dilaporkan RS Omni International ke polisi.

Menurut Priyambodo yang juga Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr Sutomo (LPDS) itu, mediasi merupakan alternatif yang layak dipertimbangkan, karena bila dilanjutkan terus justru akan membuat citra RS Omni International semakin "babak belur."

"Saya tidak bermaksud melakukan intervensi, tapi kalangan RS Omni International tetap tidak akan diuntungkan bila dia menang melawan Prita, sebab sejarah akan mencatat RS Omni International adalah rumah sakit anti kebebasan pers dan informasi," katanya.

Oleh karena itu, kata cyberjournalist ANTARA itu, Prita dan kalangan RS Omni International harus sama-sama mengalah, karena keduanya sama-sama tidak memahami etika dalam "cyber media."

"Prita tidak tahu etika cyber media, karena moderator mailing-list mungkin tidak mencantumkan etika yang harus dipatuhi anggotanya, sedangkan kalangan RS Omni International juga tidak memahami etika dalam dunia pers," katanya.

Priyambodo mengatakan etika dalam dunia pers adalah kritik harus ditanggapi dengan hak jawab, karena itu kritik dalam "cyber media" juga akan lebih elegan bila ditanggapi dengan hak jawab dalam "cyber media" seperti dengan email.

"Kalau pun tetap tidak puas, kalangan RS Omni International dapat mengadu ke Dewan Pers atau KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), karena kalau ke polisi justru akan mempertaruhkan citranya," katanya.

Apalagi, katanya, polisi cenderung menggunakan pasal-pasal dalam KUHP dan UU ITE. "Kalau terkait dengan pers, polisi seharusnya menggunakan pasal-pasal dalam UU Pers, UU Penyiaran, atau UU Perlindungan Konsumen," katanya.

Terkait penerapan UU ITE, ia menilai UU ITE masih belum memiliki peraturan pelaksanaan, apalagi UU ITE bukan huruf I dalam ITE itu bukan informatika, melainkan informasi, sehingga ada kekeliruan dalam pelaksanaannya.

"Kalau informatika itu lebih bersifat teknis, sedangkan informasi bersifat substansial, padahal kalau masalah substansial sudah ada UU Pers atau UU Penyiaran, karena itu RS Omni International sebaiknya jangan ke polisi dulu," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009