Jakarta (ANTARA News) - Pengamat Politik Universitas Indonesia Arbi Sanit menilai upaya parpol menjalin koalisi menjelang Pemilihan Presiden 2009 semakin menunjukkan adanya kepentingan pragmatis dan melupakan ideologis masing-masing parpol.

"Upaya parpol menjalin koalisi menunjukkan lebih banyak kepentingan pragmatis yang bersifat mencari kekuasaan dan melupakan platform dan ideologi partai," katanya kepada ANTARA di Jakarta, Kamis petang.

Ia menilai, saat ini di kalangan internal partai juga sudah mulai terjadi faksi-faksi dengan perbedaan pandangan yang tajam dalam menentukan arah koalisi seperti di Golkar, PAN dan PPP.

"Semua terjadi akibat komunikasi politik yang tidak bagus, sehingga sekarang sudah lebih cair dan bisa terlihat perbedaan arah koalisi," katanya.

Ia mengungkapkan, Amien Rais dengan Hatta Rajasa condong ke Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) karena sudah terjalin komunikasi yang bagus antara Hatta dan SBY dalam Pemerintahan, demikian juga antara SBY dengan Bachtiar Chamsyah yang komunikasinya lebih baik dibanding SBY-Suryadharma Ali.

"Sutrisno Bachir tidak mempunyai komunikasi yang baik dengan SBY sehingga lebih memilih ke Gerindra, misalnya mungkin karena komunikasi dengan Prabowo terjalin baik. Jadi sudah tidak koalisi yang hanya mempertimbangkan platform parpol," katanya.

Ia memperkirakan jika Prabowo bergandengan dengan Sutrisno Bachir dan mendapatkan dukungan partai lain untuk mencapai batas minimal syarat pencalonan maka akan menjadi lawan tangguh bagi SBY yang masih mencari pasangan cawapresnya.

"Selama ini seolah SBY tidak mempunyai lawan sepadan, kalau Prabowo dan Sutrisno Bachir berpasangan maka jalan SBY kembali ke kursi Presiden tidak lagi bisa dibilang mulus, apalagi tipis kemungkinan SBY berpasangan dengan Jusuf Kalla atau Hatta Rajasa," katanya.

Ia mengatakan, jajak pendapat dua minggu lalu masih menempatkan Pasangan SBY-JK sebagai pasangan populer untuk bisa memenangkan pertarungan Pilpres 2009, tetapi belum tentu dengan pasangan yang lain.

"Dalam memilih cawapres, SBY harus mempertimbangkan tidak hanya bisa menang Pilpres tetapi bagaimana setelah menang mampu menghadapi kekuatan parlemen,," kata pria kelahiran Painan, Sumbar 4 Juni 1939 itu.

Menurut dia, belum tentu jika SBY menggandeng Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid bisa mempunyai tingkat kepopuleran yang lebih baik jika dibanding berpasangan dengan JK.

Sebelumnya, survei telepolling terbaru yang dilakukan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menunjukkan, Hidayat Nurwahid paling diunggulkan menjadi calon wakil presiden (cawapres) untuk mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Hasil Survei yang dilakukan LP3ES tersebut diungkapkan dalam diskusi bertema "Elektabilitas Calon Presiden/Wakil Presiden dan Persepsi Masyarakat terhadap Kriteria Calon Wakil Presiden menuju Pilpres 2009 di Auditorium Adhyana, Wisma ANTARA Jakarta, Kamis siang.

Manajer telepolling yang juga peneliti senior LP3ES Fajar Nursahid mengatakan, Hidayat Nurwahid unggul dengan jumlah dukungan 37,9 persen responden, diikuti mantan Ketua DPR Akbar Tandjung dengan 13,2 persen, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan 12,5 persen.

Hasil lainnya adalah Mensesneg Hatta Radjasa sebesar 7,7 persen, Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir 3,6 persen, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar 1,5 persen, Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad 1,5 persen, Sekjen PKB Lukman Edy 0,5 persen.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009