Jakarta (ANTARA News) - "Sekarang, beli benih dan pupuk tidak lagi sesulit dulu. Jual beras juga menguntungkan karena harganya lumayan tinggi," kata Engkos Koswara (61), warga Desa Songgom, Kecamatan Gekbrong, Cianjur.

Pengakuan Engkos diamini petani-petani lain di Cianjur, dari Sukanagara di selatan sampai Warungkondang dan Karang Tengah yang menjadi sentra beras Cianjur.

"Jika distribusi pupuk tidak sesuai waktunya maka masa panen dan pengadaan beras bakal terganggu," kata Direktur Utama Perum Bulog Mustafa Abubakar membenarkan klaim petani soal kaitan erat ketersediaan pupuk dengan hasil panen.

Faktanya, pupuk dan benih yang mudah diperoleh memang kunci keberhasilan panen di sentra-sentra beras nasional seperti Cianjur, hingga berlebih.

Sistem penyerapan beras petani oleh Bulog pun mencetak hasil memuaskan. Strategi Bulog, diantaranya dengan menghargai tinggi beras petani dan mendekatkan akses ke petani, menuai hasil, ditandai oleh naiknya stok beras pada 2008 hingga dua kali lipat dari tahun sebelumnya menjadi 3,2 juta ton.

Intimnya hubungan diantara keduanya tergambar dari desakan Bulog pada pemerintah agar Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk beras dan gabah dinaikkan karena biaya produksi yang ditanggung petani melonjak gara-gara naiknya BBM beberapa waktu lalu.

Tak hanya itu, Bulog mendorong terjadi transaksi pangan antar daerah dengan memacu sejumlah daerah melakukan sistem pengadaan jarak jauh, seperti upaya Sumatera Utara, Riau, DKI Jakarta membeli beras dari Sulawesi Selatan atau Kalimantan Barat yang membeli beras dari Jawa Tengah, Kalimantan Timur dari Sulawesi Selatan.

Dengan tawaran insentif berupa tanggungan karung, pelayanan singkat (sehari), gudang yang buka selama tujuh hari dengan biaya 20 persen lebih rendah, dan para pegawai yang proaktif menangkap peluang, Bulog akhirnya mampu memenuhi ketersediaan pangan yang sebelum ini bermasalah.

Alhasil, penerapan manajemen stok yang terorganisasi ini, serapan beras Bulog mengalami surplus dan membuat Indonesia bisa mengekspor lagi beras sekaligus memperoleh devisa lebih dari US$ 500 juta (Rp 5,5 triliun). Demikian pula dengan realisasi penyerapan raskin (beras untuk rakyat miskin) yang pada periode Januari-Juni 2008 saja mencapai 1,36 juta ton atau 86,23% dari target semula.

Dunia pun, lewat FAO, mengapresiasi tinggi pencapaian ini untuk kemudian meminta Bulog berbagi kisah sukses ini dengan dunia pada 18-19 Februari lalu di Roma.

Diperluas

Di dalam negeri, apresiasi tak kalah tinggi terlontar, salah satunya dari Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) yang mendesak tugas dan wewenang Perum Bulog diperluas ke sistem distribusi pupuk dan benih.

"Kelancaran distribusi pupuk akan meningkatkan hasil panen dan Bulog sudah mengetahui detail masalah yang dihadapi petani," kata Ketua KTNA Winarno Tohir.

Tidak saja karena Bulog merupakan lembaga penyangga distribusi pangan yang kredibel dengan infrastruktur di seluruh Indonesia, distribusi pupuk oleh Bulog juga bisa menekan spekulasi pupuk yang belum lama ini membuat Indonesia kewalahan.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Hartadi Sarwono bahkan menilai stabilitas pangan berpengaruh besar pada stabilitas ekonomi dengan menyatakan harga komoditas strategis seperti beras, berperan dalam meredam laju inflasi. Stabilnya harga beras telah menekan inflasi (Indeks Harga Konsumen) sampai 4,9 persen pada 2006 dan 5,6 persen pada 2007.

Atas dasar ini BI meminta Bulog menyerap seluruh produksi beras untuk mengikis peran dominan pedagang pengumpul yang selama ini kerap mengatur stok dan membuat harga bergejolak sehingga memicu inflasi.

Sektor formal pun mengakui posisi Bulog krusial dalam membangun ketahanan pangan sehingga 13 lembaga pertanian dan perbankan memutuskan bekerjasama dengan Bulog dalam kerangka Program Khusus Penguatan Cadangan Beras Nasional.

Ketigabelas lembaga itu adalah Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Perum Perhutani, Bank BRI, Bukopin, PTB Pusri, PT Petrokimia, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kaltim, PT Pertani, PT Sang Hyang Seri dan Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA).

Melihat fungsi khusus ketigabelas lembaga itu, terlihat bahwa ketahanan pangan terus disikapi holistik dan integral, tidak semata urusan Bulog, dari soal pupuk sampai pendanaan perbankan.

Posisi Bulog pun semakin strategis dalam mencipta ketahanan pangan. Ini sejalan dengan klaim para pakar internasional bahwa sistem stok pangan seperti diperankan Bulog, adalah kunci ketahanan pangan dan sistem harga pangan yang kenyal dari spekulasi.

Dalam laporannya pada 2008, Bank Pembangunan Asia (ADB) membenarkan klaim itu dengan menyebut stok pangan yang lemah akan membuat negara rentan dari perubahan cepat pada suplai dan spekulasi harga sehingga ketahanan pangan pun terancam.

Strategis

Fakta ini telah menguatkan asumsi bahwa fungsi yang dilakoni Bulog memang sangat strategis dan demikian menantang. Apalagi Bulog mesti menjawab tantangan tidak seimbangnya ketersediaan lahan, lambannya inovasi pertanian, cepatnya pertambahan penduduk serta konversi lahan produktif, dan masih besarnya ketergantungan pada impor.

Berdasarkan data pertanian yang ada, lahan pertanian produktif yang tersedia kini hanya 7,7 juta hektar, padahal Indonesia membutuhkan sedikitnya 11 juta hektare. Tak itu saja, derasnya konversi lahan produktif hingga 100 ribu hektare per tahun telah mempermuram ekspektasi karena konsekuensinya Indonesia harus kehilangan produksi padi sekitar 500 ribu ton per tahun.

Ini memang bukan lahan Bulog, namun dari kacamata pengukuran kebutuhan pangan nasional dan keselarasannya dengan ketersediaan stok, persoalan ini mempengaruhi daya serap Bulog. Mau tak mau, Bulog harus memperkuat posisinya sebagai sistem distribusi pangan andal, diantaranya dengan meningkatkan kualitas infrastruktur.

Persoalan infrastruktur sendiri menjadi mendesak karena teknologi pasca panen seperti silo dan fasilitas pergudangan penyimpanan beras, umumnya memerlukan perbaikan. Selain itu, Bulog mesti membangun gudang baru di daerah-daerah hasil pemekaran dan daerah-daerah yang kekurangan gudang.

Untuk perbaikan infrastruktur ini, mengutip Mustafa Abubakar beberapa waktu lalu di DPR, Bulog menyebut angka Rp230 miliar. Sungguh sebuah jumlah yang wajar, setidaknya bisa dianggap sebagai bagian dari subsidi pemerintah untuk menyerap produk pangan dan memacu produkivitas pertanian nasional.

Asal tahu saja, AS rata-rata menyalurkan subsidi 1,7 miliar dolar AS atau 232 dolar AS per hektare yang pada praktiknya dinikmati sepuluh raksasa agrobisnis AS yang diantaranya berfungsi mirip Bulog namun motifnya murni mencari untung. Merekalah yang menguasai sepertiga pasar benih global, 80 persen pasar pestisida dunia, dan 57 persen total penjualan produk pangan dunia.

Realita ini harus mendorong Indonesia untuk secepatnya menguasai hulu dan hilir dari produksi pangan, yaitu menyangkut bagaimana benih, pupuk dan fasilitas impor lain tidak mematikan kemampuan lokal.

Dan kunci untuk mencapai ini adalah dengan terus memperkuat institusi Bulog agar mudah diakses petani dan kredibel sehingga stabilitas harga pangan terjaga untuk kemudian membuat sistem ketahanan pangan nasional kenyal dari gejolak harga. (*)

Oleh Oleh: Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009