Jakarta (ANTARA News) - Sebanyak 24 partai politik (parpol) akan mengirim kembali surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berisi penolakan pemberlakuan "parliamentary threshold" (PT) atau ambang batas perolehan suara pada pemilu legislatif, karena surat pertama belum ada tanggapan. Partai-partai yang berkumpul di Jakarta, Kamis tersebut adalah PPPI, PPRN, Barnas, PKPI, PPIB, PPD, PPI, PNI Marhaenisme, PDP, Pakar Pangan, PMB, PDK, Pelopor, PDS, PNBKI, PBB, PBR, Patriot, PIS, PKNU, Merdeka, PPNU, PSI dan Partai Buruh. Pimpinan partai yang hadir antara lain lain Ketua Umum PPD Oesman Sapta, Ketua Umum PNI Marhaenisme Sukamawati Soekarnoputri, Ketua Umum PPRN Amelia Yani, Roy BB Janis dari PDP, Ketua Umum PPPI Daniel Hutapea, Ketua Umum Partai Patriot Japto SS, dan Ketua Umum Partai Buruh Muchtar Pakpahan. Oeman Sapta yang memimpin sidang mengatakan, surat kedua tersebut akan dikirim oleh Japto. Sementara itu surat pertama tertanggal 11 Maret dikirim pada 17 Maret. Pada saat itu surat ditandatangani oleh 29 parpol. "Surat pertama tidak ditanggapi. Kita akan kirim surat kedua," katanya. Ditanya jika surat kedua tidak juga ditanggapi, Oesman mengatakan, "Akan ada tahap ketiga." Namun ia tidak menjelaskan tahap ketiga tersebut. Parpol-parpol tersebut menghendaki Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang tidak diperlakukannya perolehan PT sebesar 2,5 persen suara secara nasional agar diikutsertakan dalam penentuan kursi di DPR. Oesman mengatakan, aturan PT tersebut tidak adil karena suara partai yang tidak memperoleh total suara secara nasional 2,5 persen akan hilang. Ia mengatakan, para pimpinan partai yang hadir sangat emosi terhadap aturan tersebut namun mereka tetap bijak. "Betul-betul emosi tinggi, tapi bijak karena Indonesia adalah bangsa yang berbudaya tinggi," katanya. Mengenai peluang partai-partai tersebut berkoalisi, Oesman mengatakan, partai-partai tersebut bisa menjadi alternatif karena jika digabung suaranya cukup besar.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009