Jakarta (ANTARA News) - Tak ingin lagi dituding sebagai tukang gunting, Lembaga Sensor Film (LSF) akan mencoba formula baru dalam menegakkan norma-norma produk film, yakni dengan mengutamakan dialog. "Kami sadar biaya pembuatan film sangat mahal, dan kalau digunting tentu akan menyakitkan bagi produsen. Karena itu, ke depan kami akan lebih mengutamakan dialog yang intens dengan kalangan produser dan insan film," kata Dr Mukhlis Paeni selaku Ketua LSF masa bhakti 2009-2012, dalam jumpa pers di Gedung BP2N, Jakarta, kemarin. Menurutnya, dengan membangun dialog yang rutin diharapkan semua pihak, baik produser maupun LSF memiliki pandangan yang sama tentang dampak sebuah film. "Kalau sudah ada kesamaan pandang, tentu tidak perlu ada pengguntingan ketika sebuah film masuk ke LSF," katanya. Dalam kepengurusan LSF yang baru, Dr. Mukhlis Paemi dibantu oleh Drs. Nunus Supardi sebagai Wakil Ketua, RM. Tedjo Baskoro, SH (Ketua Komisi A), Djamalui Abidin Ass (Ketua Komisi B), Dr. Wahiduddin Adams, SH (Wakil Ketua Komisi A), H.M. Firman Bintang (Wakil Ketua Komisi B), Drs Febry C. Tetelepta, MH (Sekretaris Komisi A), dan Dra. Rita Sri Hastuti (Sekretaris Komisi B). Mukhlis mengatakan, film adalah bagian dari industri kreatif yang meupakan tambang baru. Karena itu, pertumbuhan produksi film perlu didukung terus agar terbuka lapangan kerja yang luas. Tugas utama LSF, katanya, adalah menegakkan rambu-rambu moral dan tanggung jawab dalam produksi film. "Karena itu diperlukan pemahaman yang sama di antara LSF dan insan film. LSF pada dasarnya sangat bersedih hati bila harus memotong film yang telah dibuat dengan susah payah dan menelan biaya banyak," ujarnya. Menyinggung tentang budaya mumpung di kehidupan industri film nasional, ia mengatakan bahwa sebenarnya budaya bangsa Indonesia yang sangat beragam merupakan modal besar, hanya saja pemanfaatannya masih sangat minim. "Saya pernah hadir di sebuah pameran produksi film di Korea. Saya melihat di stand-stand berbagai negara terpampang film-film dari berbagai jenis, ada drama, perang, komedi, dan sebagainya. Giliran melihat stand Indonesia, dari ujung sampai ujung, filmnya sama, horor semua," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009