Jakarta (ANTARA) - Rektor IAIN Palangkaraya Dr Khairil Anwar menyampaikan bahwa Pancasila sebenarnya diilhami oleh nilai-nilai agama, sehingga mulai dari sila pertama hingga sila kelima itu tidak ada yang bertentangan dengan agama.

 

"Contohnya seperti sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Itu kan berdasarkan nilai-nilai agama. Tapi kalau ada pemahaman terhadap yang seagama saja berbeda, lalu memahami bahwa Pancasila itu thogut, ini pemahaman yang keliru," katanya di sela rakernas Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di Jakarta, Rabu, demikian keterangan tertulis yang diterima ANTARA.

 

Imam Besar Masjid Darussalam Palangka Raya itu mengatakan pemahaman yang keliru dan sempit serta cenderung tekstualis, serta adanya keinginan membuat negara berdasarkan Islam yang membuatnya salah dalam memaknai Pancasila.

 

"Pancasila itu 'mistsaqan ghalidz' yang artinya kesepakatan dari semua tokoh masyarakat, tokoh negara para pendiri bangsa kita. Di situ ada nasionalis ada nasionalis religius, dan ada yang non-Muslim. Maka kemudian lahirlah kesepakatan itu untuk kelangsungan bangsa kita karena kalau tidak ada kesepakatan itu bisa bubar negara kita ini," kata Wakil Ketua MUI Kalteng tersebut.

 

Selain itu, menurutnya lembaga pendidikan juga perlu untuk menanamkan pemahaman yang benar tentang Pancasila melalui kurikulum pendidikan mulai dari SD/madrasah sampai perguruan tinggi.

 

Khairil Anwar menilai, upaya itu sangat penting, apalagi menyikapi kemajuan teknologi sekarang ini.

Menurutnya keberadaan telepon genggam dan gadget serta media sosial, membuat pemahaman generasi muda atau generasi milenial tentang Pancasila menjadi sangat berat.

 

"Mungkin masih banyak anak muda kita tidak hapal Pancasila. Jadi harus diajarkan, nilai-nilainya, diimplementasikan dan yang tidak kalah pentingnya adalah keteladanannya," kata Ketua FKPT Kalteng tersebut.

 

Ia mengungkapkan, untuk menguatkan pemahaman hubungan antara Pancasila dan agama, masyarakat harus diberikan wawasan kebangsaan, moderasi beragama, dan keteladanan.

 

"Karena moderasi beragama itu melihat bagaimana Islam yang wasathiyah. Tidak ekstrem kanan yang tekstualis, intoleran atau pun ekstrem kiri yang liberal. Kita tarik orang-orang ekstrem kanan dan ekstrem kiri ini ke tengah dengan diajak berdialog ke pesantren atau lembaga-lembaga pendidikan yang wasathiyah, termasuk ustadz-ustadznya juga,” tutur Khairil.

 

Ia menyarankan pentingnya penguatan wawasan kebangsaan tentang nilai-nilai Pancasila kepada ustad dan penceramah yang cenderung tekstualis.

 

"Selain moderasi beragama juga harus diikuti dengan wawasan kebangsaan. Nilai-nilai pancasila harus dibumikan juga ke pesantren-pesantren. Dan yang paling penting sekali adalah keteladanan, baik itu keteladanan pemimpin atau penceramah itu yang sangat diharapkan oleh masyarakat," katanya.

Baca juga: Rakernas FKPT hasilkan sembilan poin rekomendasi

Baca juga: FKPT Sulsel optimistis cegah penyebaran paham radikalisme

Baca juga: BNPT persoalkan komitmen kepala daerah cegah terorisme

Baca juga: BNPT harap FKPT berfungsi maksimal cegah gerakan radikal


Pewarta: M Arief Iskandar
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2020