Cikarang, Bekasi (ANTARA) - Rencana Detail Tata Ruang atau RDTR suatu wilayah sejatinya disusun untuk memberi kepastian atas terselenggaranya pemanfaatan ruang yang berkualitas dan sejalan dengan wawasan lingkungan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional.

Pemanfaatan tata ruang secara optimal bahkan disebut mampu mewujudkan kehidupan bangsa ke arah yang lebih maju, sejahtera, dan berbudi luhur jika mampu memadukan penggunaan sumber daya alam dan buatan dengan memperhatikan aspek sumber daya manusia.

Untuk itulah diperlukan spatial planning, yang memadukan penataan praktik dan kebijakan tata ruang, meliputi darat, laut dan udara sebagai satu kesatuan wilayah terkait dengan penataan dan hukum penggunaan lahan secara efektif dan tepat, untuk menghindari konflik di kemudian hari.

Namun persoalannya, apa jadinya bila suatu wilayah tidak memiliki pola tata ruang yang baku agar dapat dimanfaatkan secara maksimal dengan tetap memperhatikan wawasan lingkungan serta kemajuan teknologi?  Seperti nasib RDTR di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat yang saat ini masih terkatung-katung.

Faktanya, di wilayah industri terbesar se-Asia Tenggara itu pemanfaatan ruang belum maksimal, tercermin dari makin tergerusnya lahan pertanian pangan berkelanjutan, maraknya alih fungsi lahan, serta tumpang tindih antara zona industri, permukiman, dan pertanian.

Sementara di sisi lain pemerintah pusat memberikan kemudahan izin berusaha bagi investor yang memungkinkan sektor industri di Kabupaten Bekasi semakin berkembang pesat.

Atas dasar itulah, kini pemerintah daerah setempat berupaya mengajukan revisi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) mengenai RDTR Kabupaten Bekasi untuk mengoptimalkan pemanfaatan ruang sekaligus sinkronisasi sejumlah regulasi pemerintah pusat.

"Sebenarnya draf regulasi tersebut telah berada di Pemerintah Provinsi Jawa Barat sejak tiga tahun lalu namun tidak ada perkembangan. Maka dari itu kami ajukan untuk direvisi saja RDTR," kata Plt Kabid Tata Ruang pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Bekasi Nur Chaidir.

Pemerintah Kabupaten Bekasi mengaku segera berkonsultasi terkait RDTR ini ke Provinsi Jawa Barat untuk mendapat jawaban dari Gubernur Jawa Barat mengingat urgensi untuk merevisi draf tersebut.

Kabupaten Bekasi sebenarnya telah menyusun Raperda RDTR. Dalam rancangan tersebut, tata ruang Kabupaten Bekasi dipetakan secara detail dengan dibagi dalam empat wilayah. Bahkan Raperda RDTR itu telah disahkan melalui Sidang Paripurna DPRD Kabupaten Bekasi pada 2017 silam.

Raperda yang seharusnya dikoreksi oleh Gubernur Jawa Barat itu tidak kunjung dikembalikan bahkan regulasi strategis itu semakin pelik setelah kasus suap Meikarta menyeruak dan menyeret sejumlah pejabat publik.

Terhentinya produk RDTR tak lepas dari dugaan adanya praktik pesanan zonasi yang dilakukan pihak Meikarta untuk memuluskan usahanya membangun mega proyek apartemen. Di sisi lain akibat raperda yang jalan di tempat, Kabupaten Bekasi tidak memiliki regulasi penataan ruang yang detail.

Kendala pada Raperda RDTR itu kemudian menghambat penerbitan sejumlah regulasi strategis lain di antarannya raperda tentang lahan pertanian pangan berkelanjutan.

"Secepatnya kami akan mendatangi Pemprov Jawa Barat untuk meminta kejelasan terkait RDTR Kabupaten Bekasi. Apakah dikembalikan ke kami setelah dikoreksi atau kami membuat yang baru," kata Chaidir.

Raperda RDTR yang telah diparipurnakan oleh DPRD Kabupaten Bekasi pada Mei 2017 terhenti lantaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga ada masalah dalam pembahasan RDTR yang dilakukan saat itu.


Revisi RDTR

Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Jamari Tarigan menjelaskan revisi RDTR itu penting untuk menyesuaikan dengan perubahan aturan yang dilakukan pemerintah pusat. Salah satunya yakni pembuatan peta tata ruang yang harus melalui persetujuan Badan Informasi Geospasial.

"Makanya ini perlu ada perubahan. Karena kan petanya itu ada tidak lagi 1 berbanding 60.000 seperti di rencana tata ruang wilayah, tetapi lebih detail menjadi 1 berbanding 5.000. Maka ini yang terus akan kami sampaikan ke provinsi seperti apa tahapannya," katanya.

Sementara Ketua DPRD Kabupaten Bekasi Aria Dwi Nugraha mengatakan perubahan RDTR harus segera dilakukan untuk menjaga pembangunan daerah berjalan sesuai aturan.

"Kemarin sudah ada beberapa revisi, maka perlu diterapkan. Setelah kemarin sempat terkendala, harusnya sekarang sudah ada kejelasan," ucapnya.

Menurut Aria ketidakpastian tata ruang di Kabupaten Bekasi berimbas langsung kepada sejumlah sektor terutama tergerusnya lahan pertanian abadi akibat ketidaksinkronan data luas lahan yang saat ini dimiliki Kabupaten Bekasi.

Bahkan Raperda mengenai perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang telah disepakati legislatif melalui panitia khusus DPRD Kabupaten Bekasi terpaksa dicabut kembali.

"Ada ketidakakuratan data luas lahan pertanian di masing-masing kecamatan yang disebabkan alih fungsi lahan dan ketidakjelasan zona tata ruang yang ada di kita," katanya.

Badan Koordinasi dan Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Provinsi Jawa Barat masih menunda pembahasan usulan RDTR Kabupaten Bekasi karena dianggap usulan itu masih terlalu parsial, tidak memperhatikan seluruh aspek secara keseluruhan.

BKPRD Jawa Barat beranggapan usulan RDTR itu belum menyesuaikan dengan perubahan aturan yang dilakukan pemerintah pusat. Kemudian juga belum memasukkan sejumlah proyek strategis nasional seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung.

Pekerjaan rumah bagi Pemerintah Kabupaten Bekasi tentunya agar segera melakukan revisi RDTR untuk mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan seperti banjir, erosi, abrasi, serta sedimentasi.

Sekaligus mempertahankan luas lahan pertanian yang semakin tergerus akibat alih fungsi lahan karena ketidakjelasan zona peruntukan tata ruangnya. Keseriusan pemerintah daerah sanagat dibutuhkan dalam menjaga keseimbangan wilayahnya.
 

Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2020