Brisbane (ANTARA News) - Wacana Poros Tengah jilid dua yang digulirkan Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, sebagai alternatif dalam mencari pemimpin nasional tahun 2009 akan sulit diwujudkan seperti 1999, akibat masih kuatnya kongsi sejumlah partai politik Islam dengan gerbong parpol penguasa saat ini.

"Poros Tengah adalah lagu lama yang diputar lagi. Untuk konteks 2009, bagaimana mungkin koalisi ini akan terbentuk dengan kukuh seperti 1999 di tengah kongsi parpol Islam dengan kekuatan parpol penguasa sekarang (Partai Demokrat-red.)," kata akademisi Indonesia di Universitas Queensland (UQ), Akhmad Muzakki.

Kepada ANTARA di Brisbane, Minggu, dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya yang sedang merampungkan studi doktornya di UQ itu mengatakan, ketidakyakinan dirinya pada terwujudnya koalisi Poros Tengah jilid dua di antara parpol-parpol Islam ditopang oleh kenyataan parpol Islam yang masuk gerbong pendukung pemerintah saat ini.

"Sebagai contoh PPP. Kubu Muslimin Indonesia (MI) akan tetap mencoba berada di belakang Susilo Bambang Yudhoyono karena mereka sudah yakin bahwa mereka akan dapat jabatan di kabinet. Apakah kemudian pada 2009 mereka mau melakukan formulasi ulang? Saya tidak yakin," katanya.

Ia pun tidak yakin bahwa kekuatan Nahdlatul Ulama (NU) di dalam PPP yang diwakili Suryadharma Ali dan kekuatan MI yang diwakili Bachtiar Chamsyah akan tarik-menarik karena kedua tokoh ini sedang "solid-solidnya". Mereka cenderung akan mempertahankan yang sudah ada daripada membangun koalisi baru yang belum jelas.

"Tesis politik kekuasaan di Indonesia masih dimaknai sebagai `kalau saya memberi apa, saya dapat apa. Dalam konteks inilah mereka tampaknya akan lebih nyaman tetap berada di dalam gerbong Susilo Bambang Yudhoyono."

Lebih daripada itu, Presiden Yudhoyono sendiri merupakan sosok yang sangat hati-hati dan tidak mencoba berkonflik dengan parpol-parpol pendukungnya, sehingga sikap status quo cenderung dipilih parpol Islam yang kini berada di gerbong pemerintah yang kini berkuasa, katanya.

Menurut Akhmad Muzakki, pemunculan kembali isu Poros Tengah tidak lebih dari sekadar "test case" (coba-coba) saja untuk menaikkan profil orang-orang semacam Din Syamsuddin untuk kepentingan "jualan politik" 2009.

Terkait dengan kepentingan politik Muslim Indonesia, ia mengatakan, "sangat salah kalau kepentingan mereka itu direpresentasikan secara terbatas melalui partai Islam".

Pandangan semacam ini cenderung menyesatkan karena siapa yang bisa menolak fakta bahwa para petinggi parpol nasionalis yang duduk di lapisan pertama dan kedua seperti Partai Golkar dan yang paling ekstrim sekalipun, PDIP, bukan aktivis Islam atau paling tidak mereka adalah orang Islam.

"Jadi, menurut saya, tidak ada kaitan bicara kepentingan masyarakat Islam kemudian ditarik garis lurus dan simetris dengan partai-partai Islam. Dalam masalah Poros Tengah, keberhasilannya tahun 1999 tidak dapat dilepaskan dari adanya kekuatan besar yakni Golkar dan PDIP yang saling berhadapan," katanya.

Ketika itu, posisi berhadapan kedua kekuatan besar ini tidak memiliki dukungan berupa koalisi dengan kubu parpol Islam. Kondisi inilah yang kemudian dilihat kubu parpol Islam sebagai peluang untuk menawarkan alternatif lain karena pada saat itu mereka belum bisa memastikan diri untuk menjadi kongsi politik dari kekuatan itu.

Namun seiring berjalannya waktu, Poros Tengah 1999 juga menghadapi kendala akibat pembagian kue kekuasaan yang tidak merata dan masing-masing tokoh Islam menjadi "raja kecil" di wilayahnya kekuasaannya masing-masing, katanya.

Pada Sidang Umum MPR-RI tahun 1999, kubu koalisi partai Islam yang tergabung dalam Poros Tengah berhasil mendudukkan Abdurrahman "Gus Dur" Wahid sebagai presiden dengan mengalahkan dua calon terkuat, BJ Habibie (Golkar) dan Megawati Soekarnoputri (PDIP).

Namun, adalah juga kubu Poros Tengah yang dimotori tokoh reformasi, Amien Rais, yang melengserkan Gus Dur dari kursi kepresidenan tahun 2001. Gus Dur kemudian digantikan Megawati Soekarnoputri.(*)



(T.R013/ )

Copyright © ANTARA 2008