Brisbane (ANTARA News) - Penguatan fenomena "golongan putih" (golput) yang menimbulkan kegalauan sejumlah pihak menjelang Pemilu 2009 tidak dapat dilepaskan dari kekecewaan publik pada kinerja partai-partai politik (parpol) Islam, kata akademisi Muslim Indonesia di Universitas Queensland (UQ), Akhmad Muzakki.

Untuk menekan jumlah mereka tidak memilih dalam Pemilu 2009 itu, politisasi agama dengan mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa "golput haram" bagi Muslim bukan solusi. "Mestinya ketika terjadi penguatan golput, partai-partai Islam mengaca diri supaya tahu apa yang salah pada dirinya," katanya.

Kepada ANTARA di Brisbane, Minggu, dosen IAIN Surabaya yang sedang merampungkan studi doktornya di UQ itu mengatakan, tidak ada kata terlambat bagi parpol-parpol Islam untuk "mempercantik diri" di depan publik dengan kinerja dan program-program yang merakyat dan pro pada penciptaan pemerintahan yang bersih.

"Dengan cara begitu golput dengan sendirinya akan semakin mengecil. Tapi ini jangan sekadar retorika politik," kata Akhmad Muzakki.

Ia mengatakan, tidak ada kata terlambat bagi parpol-parpol Islam sebagai pihak yang akan sangat dirugikan oleh penguatan fenomena golput untuk mempercantik diri. "Belajarlah dari Partai Gerindra-nya Prabowo Subianto karena tren popularitas partai baru ini terus menaik."

Kenaikan popularitas Partai Gerindra itu, lanjut Muzakki, tidak bisa dilepaskan dari program-programnya yang pro-rakyat.

"Yang paling menyentuh adalah bagaimana petani dicoba diberdayakan ekonominya. Gerindra juga bicara tentang nelayan dan seterusnya. Kemasan iklan partai ini pun bagus," katanya.

Kasus Partai Gerindra ini menjadi cermin dari "tidak adanya kata terlambat" bagi parpol-parpol Islam untuk segera mempercantik diri, sebagai upaya meminimalisir kehadiran golput dalam pemilihan kepala daerah maupun Pemilu 2009, katanya.

Upaya membenahi kinerja dan program-program konkrit parpol yang pro-rakyat dan pemerintahan yang bersih itu juga akan menolong parpol-parpol Islam terhindar dari kemerosotan jumlah pemilih, karena konstituen parpol-parpol Islam cenderung lebih cair daripada parpol nasionalis.

"Konstituen parpol nasionalis itu lebih `firm` (teguh). Mereka pun cenderung lebih ideologis dibandingkan konstituen parpol Islam, walaupun faktor ideologi dalam konteks ini tidak lagi murni ideologi semata, tetapi dibungkus oleh kepentingan material," katanya.


<b>Saling memangsa</b>

Dalam konteks ini, tingkat kekokohan sikap pemilih ideologis turut dipengaruhi oleh kinerja dan program parpol yang menyentuh hajat hidup rakyat. Hanya saja, kecenderungan yang ada menunjukkan ideologi pemilih dari pasar partai nasionalis lebih kokoh dari partai-partai Islam.

"Sejarah pun membuktikan bahwa beragam partai-partai Islam cenderung saling memangsa satu sama lain, tetapi mereka tidak pernah memangsa pasar partai nasionalis. Karakternya sudah seperti itu, dan pasar tetap parpol Islam lebih gampang ditarik untuk berpindah ke partai nasionalis," katanya.

Dalam kondisi demikian, menguatnya fenomena golput jelas merupakan ancaman bagi parpol-parpol Islam, namun mendorong-dorong MUI untuk mengeluarkan fatwa haram bagi Muslim yang tidak memilih bukan solusi.

"Dalam Islam juga tidak ada aturan baik secara teks maupun pengalaman kesejarahan masyarakat Islam dalam babakan waktu yang lama yang kira-kira lalu bermuara pada kesimpulan bahwa memberikan suara (voting) itu wajib. Tidak ada itu, apalagi penting untuk dicamkan kembali bahwa ini masalah politik, bukan agama," katanya.

Dalam pandangan Akhmad Muzakki, nurani rakyat pun tidak bisa dibodohi oleh elit politik dengan fatwa, karena rakyat sudah semakin pintar membedakan masalah yang murni agama dan kepentingan politik.

"Yang akan selalu dilihat dan dijadikan acuan oleh publik adalah konsistensi. Kalau dari awal sebuah fatwa sudah tidak otentik dimana pertama bilang haram dan kemudian bilang halal seperti dalam kasus fatwa tentang presiden perempuan beberapa tahun lalu, publik pasti akan mencibir," katanya.

Menjawab pertanyaan apakah sistem Australia yang mewajibkan warga negara yang memiliki hak pilih untuk memilih (compulsory voting) bisa diterapkan di Indonesia, ia berpendapat, sistem tersebut tidak mudah diterapkan di Indonesia karena jumlah penduduknya yang besar.

"Kalau di Australia gampang karena dari 21 juta jiwa penduduknya, yang punya hak pilih sekitar 60 persen. Kalau tidak ada `compulsory voting`, justru riskan buat Australia karena jumlah penduduknya yang kecil. Dalam hal ini, Australia tidak bisa dibandingkan dengan Indonesia."

Untuk kasus Pemilu Amerika Serikat, angka partisipasi rakyatnya dalam Pemilu sebesar 60 persen saja sudah dianggap sebagai pencapaian yang baik. Untuk kasus Indonesia, solusi efektif untuk menekan jumlah golput tiada lain adalah penguatan profesionalisme dan kinerja serta program-program parpol, khususnya parpol Islam.

Para pengelola parpol diminta untuk bercermin diri karena banyak anggota masyarakat kecewa dengan kinerja pemegang kekuasaan politik di pusat dan daerah. "Buruknya kinerja para penguasa adalah juga cerminan dari rendahnya kinerja parpol sebagai pihak yang menciptakan para pemain di kekuasaan itu," katanya.

Salah satu lini yang perlu dibenahi itu adalah kaderisasi. "Sayangnya, partai Islam justru tidak punya karakter kuat sebagai partai kader. Kondisi ini terjadi di semua level baik di daerah maupun pusat."

Kecenderungan lebih parah yang belakangan muncul adalah partai politik bisa dibeli dengan uang melalui apa yang sekarang dikenal dengan istilah uang mahar, kata Muzakki menambahkan. (*)

Copyright © ANTARA 2008