Jakarta  (ANTARA News) - Kekayaan Departemen Pekerjaan Umum (PU) mencapai Rp92,7 triliun berdasarkan hasil inventarisasi sampai dengan Juli 2008, sehingga menempatkan Departemen PU sebagai aset nomor tiga terbesar setelah Dephan dan Polri.

"Hampir 86 persen aset di Departemen PU merupakan tanah. Nilai dan volumenya akan terus bertambah, seiring dengan pelaksanaan penertiban barang milik negara sesuai Keppres No. 17 Tahun 2007," kata Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, di Jakarta, Jumat.

Sebagai upaya mengamankan aset negara, Departemen PU menjalin kerjasama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam rangka mengamankan barang milik negara terutama dari aspek hukum, ujarnya.

Melalui aspek hukum, maka pengelolaan aset sesuai tertib tata usaha dan tertib pengamanan sesuai diamanatkan Undang-Undang No.1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, jelasnya.

Ketentuan undang-undang tersebut dipertegas dengan UU No.39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang menyebutkan tugas dari Kementerian mengolah barang milik negara, ungkapnya.

Menteri PU berharap, kerjasama ini diharapkan dapat ditindaklanjuti dengan penyusunan rencana kerja dan penyusunan skala prioritas terhadap aset tanah Departemen PU.

Sementara itu, menurut Kepala Pusat Pengelolaan Aset Departemen Pekerjaan Umum, Eddy Putra, tidak semua aset itu dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga, tergantung kepada kategorinya.

"Ada ketentuan-ketentuan apabila terjadi ruitzlag (dipindah tangankan), karena aset negara itu ada klasifikasinya tidak semuanya bisa," kata Eddy Putra.

Eddy mengatakan, sertfikasi harus dilaksanakan mengingat dalam kurun waktu 63 tahun Departemen PU sdah berganti-ganti instansi pernah menjadi Kimbangwil, Kimpraswil, Kementerian Negara, dan sebagainya.

Kepala Badan Pertanahan Jalan Nasional (BPN), Joyo Winoto mengatakan, sertifikat penting agar tidak ada kasus-kasus hukum seperti penyerobotan serta memudahkan dalam pengamanan.

"Selama ini tidak ada perhatian khusus terhadap aset negara yang telantar. Hampir semua disclaimer, belum terdaftar, tidak terdata secara baik," ujarnya.

Hampir semua lembaga, tidak menyisihkan waktu dan tenaga untuk mendaftarkan secara baik sehingga nilainya tidak bisa dilihat, jelasnya. (*)

Copyright © ANTARA 2008