Oleh  Kholied Mawardi

Surabaya (ANTARA News) - Tari Seblang merupakan satu di antara kesenian khas Banyuwangi, Jawa Timur, yang sudah berusia ratusan tahun yang kini memerlukan regenerasi.

Menurut budayawan Banyuwangi, Hasnan Singodimayan, tari yang digunakan sebagai tolak bala (meminta keselamatan) itu pada 1930 pernah dicatat oleh camat Glagah. Kemungkinan besar tari Seblang ini telah lama eksis di Banyuwangi sebelum tahun 1930.

Tari Seblang adalah satu dari sekian banyak jenis upacara adat masyarakat Using yang menggambarkan bagaimana pahitnya menjadi korban keserakahan ambisi manusia. Sebuah tarian yang menghadirkan roh ke dalam wujud penarinya.

Mistisitas Seblang dapat dirasakan dari aroma dupa yang memenuhi pelataran bangunan sanggar. Ditambah berbagai macam hasil bumi sebagai sesajen diletakkan di beberapa sudut sanggar. Penari Seblang menari dalam keadaan tak sadarkan diri diiringi dengan syair-syair gending dan gerak tarian yang dapat menyayat hati.

Masyarakat bisa menyaksikan pertunjukan tari beraroma mistis ini setelah Idulfitri di Desa Umbulsari, Kecamatan Glagah dan setelah Iduladha di desa Bakungan, Kecamatan Glagah. Bedanya, penari Seblang di Desa Umbulsari berusia remaja, sedangkan di Bakungan, penari sudah berusia lanjut.

Kesamaan dari dua lokasi pertunjukan tari Seblang adalah saat penari mengikuti irama Gending Seblang Lukinto tidak sadarkan diri. "Ada roh dari nenek moyang yang menyusup ke dalam jiwa penari Seblang.

Gending Seblang Lukinto menurut Hasnan merupakan Gending pertama dan utama dalam Tari Seblang.

Di dalam gending ini penuh dengan wangsalan yang mengiris perasaan. Seblang-seblang damar gunung (lintang), seblang-seblang sumber mega (udan), seblang-seblang mendung putih (mega), seblang-seblang cerme putih (katu), seblang-seblang belimbing bumi (wesah), dan seblang-seblang manuk abang putih dadhane (ulung).

Syair-syair tersebut merupakan ratapan seseorang yang menyesali nasib dirinya (lintang = ketang-ketang) sehingga hampir gila (udan = edan). Begitu teganya (mega = tega) melihat diri yang resah memikirkan dirinya (katu = kantru-kantru) karena kesedihan (wesah = susah), sehingga mengharapkan pertolongan (ulung = tulung).

Simbolisasi tragedi kehidupan itu lantas terus mengalir dengan dramatis dari tarian demi tarian yang disuguhkan oleh penari Seblang hingga adegan Seblang yang keduabelas. Sungguh sebuah simbolisasi tragedi yang sukar untuk dilukiskan.

Hasnan berharap generasi mendatang bisa menyaksikan tarian ini. Penari Seblang banyak yang berusia lanjut. "Perlu ada proses alih kemampuan dari penari Seblang senior pada keluarganya dan remaja gadis yang tertarik melestarikan kesenian khas Blambangan ini," ujarnya.

Kalau tidak segera dilestarikan, maka bisa saja kebudayaan sarat makna ini tergerus oleh budaya asing. "Makanya, remaja yang potensial di bidang tari perlu diajari tari Seblang," katanya.

Sementara itu, Hadi Sucipto selaku Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Banyuwangi mengatakan, tari Seblang sebagai kesenian khas Banyuwangi perlu dukungan semua pihak untuk melestarikannya.

"Mulai dari Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, komunitas penari Seblang, budayawan, dan masyarakat. Penari Seblang diminta mau mengkader keturunannya dan remaja yang ingin menggeluti tarian ini. Serta peran masyarakat tetap antusias melihat sajian tari Seblang yang rutin digelar tiap tahun," katanya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008