Jakarta (ANTARA) - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membangun whistle-blowers system (WBS) dalam rangka mencegah terjadinya kembali praktik korupsi di internal lembaga penyelenggara Pemilu itu.

"Langkah ini bisa ditempuh sebagai upaya internal kontrol yang bertujuan sebagai langkah pencegahan (korupsi)," ujar Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.

Dengan kerjasama membangun WBS tersebut, akan memungkinkan bagi anggota KPU untuk mengadukan adanya dugaan korupsi yang akan atau sudah terjadi di lingkungan KPU ke KPK.

Donal mengatakan adanya sistem WBS itu akan memudahkan KPU dalam melakukan pengawasan tak hanya di tataran KPU Pusat, tetapi juga di jajaran KPU provinsi dan kabupaten/kota.

"Jadi memang KPU harus segera melakukan sejumlah langkah perbaikan internal agar praktek yang sama tidak berulang kembali," kata dia.

Lebih lanjut Donal menyayangkan terjeratnya Komisioner KPU Wahyu Setiawan dalam kasus korupsi. Hal ini akan berdampak pada berkurangnya kepercayaan publik terhadap KPU sebagai penyelenggara Pemilu.

"Hal ini tentu akan berdampak pada berkurangnya kepercayaan masyarakat kepada KPU, terlebih lagi ada tantangan besar di depan mata untuk menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020 pada 270 daerah," kata dia.

Sebelumnya, KPK pada Kamis (9/1) telah resmi menetapkan Wahyu Setiawan sebagai tersangka kasus suap terkait dengan penetapan anggota DPR RI terpilih 2019-2024.

Dalam perkara ini, KPK menetapkan Wahyu sebagai tersangka karena diduga menerima suap Rp600 juta dari kader PDIP Harun Masiku agar menetapkan Harun menjadi anggota DPR daerah pemilihan Sumatera Selatan I agar menggantikan caleg DPR terpilih Fraksi PDIP dari dapil Sumsel I yaitu Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia.

Untuk memenuhi permintaan Harus tersebut, Wahyu meminta dana operasional sebesar Rp900 juta. Namun dari jumlah tersebut, Wahyu hanya menerima Rp 600 juta.

Suap itu diduga diterima Wahyu dalam dua tahap. Pertama pada pertengahan Desember 2019. Saat itu, Wahyu menerima uang dari orang kepercayaannya, Agustiani Tio Fridelina, sebesar Rp 200 juta di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan. Uang ini didapat Agustiani dari Saeful namun KPK masih mendalami dari siapa sumber uang Rp200 juta itu.

Wahyu diduga kembali menerima suap sebesar Rp 400 juta pada akhir Desember 2019. Uang tersebut masih ada di tangan Agustiani. Agustiani yang sebelumnya menerima uang dari Saeful. Sementara Saeful diduga menerima uang itu dari Harun.

KPK mengamankan Wahyu dan asistennya Rahmat Tonidaya di Bandara Soekarno-Hatta pada Rabu (8/1). Selanjutnya KPK juga mengamankan mantan anggota Badan Pengawas Pemilu sekaligus orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina di Depok. Dari Agustiani, tim menamankan uang setara sekitar Rp400 juta dan uang dalam bentuk dolar Singapura serta buku rekening.

Baca juga: KPK imbau kader PDIP Harun Masiku serahkan diri

Baca juga: Wahyu Setiawan tersangka, Ketua KPU minta maaf

Baca juga: Ini kronologi tangkap tangan Komisioner KPU Wahyu Setiawan

Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020