Jakarta (ANTARA News) - Salah satu partai politik yang citranya kurang terpelihara secara konsisten adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) termasuk dalam menjaga keberadaan partai sebagai warisan ulama. Citra PPP sebagai partai yang berprinsip mengajak kebaikan dan mencegah keburukan (amar ma`ruf nahi munkar) terperosok kala anggota Fraksi PPP DPR Al Amin Nasution ditangkap petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di areal parkir Hotel Ritz Charlton Jakarta Rabu 9 April 2008 karena diduga terlibat suap alih fungsi hutan lindung di Kepulauan Riau. "Kasus Al Amin merupakan pukulan telak bagi partai kami," kata Sekretaris Jenderal DPP PPP Irgan Chairul Mahfiz dalam wawancara mengenai performa PPP. Amin sudah dipecat dari keanggotaan DPR dan digantikan oleh Nasirwan Thoha berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 83/P/2008 tertanggal 23 September 2008. Fusi empat partai politik Islam yakni Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) pada 5 Januari 1973 yang menandai kelahiran PPP juga tak pernah tuntas. Terbukti bermunculan partai politik yang "kembali ke asal" sebelum fusi meskipun dalam format baru seperti kader-kader NU membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI), termasuk Partai Bintang Reformasi (PBR) yang merupakan sempalan PPP. PPP didirikan oleh lima deklarator yakni KH Idham Chalid (Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama), H Mohammad Syafaat Mintaredja (Ketua Umum Parmusi), H Anwar Tjokroaminoto (Ketua Umum PSII), H Rusli Halil (Ketua Umum Perti), dan H Mayskur (Ketua Kelompok Persatuan Pembangunan di Fraksi DPR). PPP juga kurang lantang menunjukkan sikapnya atas dinamika kemasyarakatan yang bermunculan seperti merebaknya sekularisme, hedonisme, pornografi dan pornoaksi, aliran Jemaah Ahmadiyah, dan penyakit sosial lainnya padahal dalam misi PPP sangat jelas tertulis. Butir pertama misi PPP misalnya berbunyi PPP berkhidmat untuk berjuang dalam mewujudkan dan membina manusia dan masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, meningkatkan mutu kehidupan beragama, mengembangkan Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim). Dengan demikian PPP mencegah berkembangnya faham-faham atheisme, komunisme/marxisme/leninisme, serta sekularisme, dan pendangkalan agama dalam kehidupan bangsa Indonesia. Butir kedua berbunyi PPP berkhidmat untuk memperjuangkan hak-hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sesuai harkat dan martabatnya dengan memperhatikan nilai-nilai agama terutama nilai-nilai ajaran Islam, dengan mengembangkan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia). Dengan demikian PPP mencegah dan menentang berkembangnya neo-feodalisme, faham-faham yang melecehkan martabat manusia, proses dehumanisasi, diskriminasi, dan budaya kekerasan. Sementara butir ketiga berbunyi PPP berkhidmat untuk berjuang memelihara rasa aman, mempertahankan dan memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dengan mengembangkan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa). Dengan demikian PPP mencegah dan menentang proses disintegrasi, perpecahan dan konflik sosial yang membahayakan keutuhan bangsa Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Hal lain yang menunjukkan citra PPP merosot adalah prestasinya yang terus turun dalam perolehan kursi DPR pada setiap pemilihan umum (Pemilu). Keseluruhan hasil Pemilu dari 1977-2004 menunjukkan bahwa PPP "ditinggalkan" pemilihnya. PPP pun kesulitan menjaga warisan ulama untuk menjadikan PPP sebagai rumah bagi umat muslim menyuarakan aspirasi politiknya. PPP pada Pemilu 1977 mendapat 18.745.565 suara pemilih (29,29 persen) atau 99 kursi (27,12 persen) dari 360 kursi DPR yang diperebutkan bersama Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Hasil itu jauh di bawah target minimal meraih 120 kursi atau sepertiga jumlah kursi DPR kala itu. Dibandingkan dengan Pemilu 1977, prestasi PPP anjlok pada Pemilu 1982 karena hanya mengantongi 20.871.800 suara (27,78 persen) atau menduduki 94 kursi (26,11 persen) dari 364 kursi DPR yang diperebutkan bersama Golkar dan PDI. Prestasi PPP pada Pemilu 1987 makin terpuruk karena memperoleh 13.701.428 suara (15,97 persen) atau 61 kursi (15,25 persen) dari 400 kursi yang diperebutkan bersama Golkar dan PDI. Begitu pula pada Pemilu 1992 PPP hanya mampu meraih 16.624.647 suara (14,59 persen) atau 62 kursi (15,50 persen) dari 400 kursi yang diperebutkan bersama Golkar dan PDI. PPP pada Pemilu 1997 mendapat 25.340.018 suara (22,43 persen) atau 89 kursi (20,94 persen) dari 425 kursi yang diperebutkan bersama Golkar dan PDI. Hasil itu menunjukkan prestasi PPP semakin turun dibandingkan dengan Pemilu 1977 dan Pemilu 1982 meskipun lebih baik dibandingkan hasil yang diraih pada Pemilu 1987 dan Pemilu 1992. Pengalaman Pemilu selama masa rezim Orde Baru itu menunjukkan bahwa PPP selalu berada di peringkat kedua setelah Golkar. Menyusul kedatangan era reformasi pada 1998, jumlah partai politik peserta Pemilu bertambah banyak yakni 48 partai politik pada Pemilu 1999 dan prestasi PPP pada saat itu kian merosot. PPP pada Pemilu 1999 hanya mendapat 11.329.905 suara (10,71 persen) atau 58 kursi (12,55 persen) dari 462 kursi DPR yang diperebutkan bersama 47 partai politik lain. PPP pada Pemilu 2004 lagi-lagi hanya mampu meraih 9.248.764 (8,14 persen) atau 58 kursi (10,54 persen) dari 550 kursi DPR yang diperebutkan bersama 23 partai politik lain. Jumlah pemilih dan kursi DPR yang diperebutkan pada Pemilu 2004 lebih banyak dibandingkan dengan Pemilu 1999 dan jumlah partai politik peserta Pemilu 2004 hanya 50 persen dibandingkan peserta Pemilu 1999 tetapi prestasi PPP tak menunjukkan peningkatan sama sekali. Untuk Pemilu 2009 PPP menargetkan perolehan suara minimal sebanyak 15 persen suara untuk mendongkrak perolehan kursi di DPR. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan oleh 38 partai politik nasional sebanyak 560 kursi. Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali memformulasikan strategi perjuangan PPP yang harus bergeser ke tengah menjadi partai pluralis meskipun partainya berasaskan Islam. "PPP harus ke tengah, pluralis, kalau tidak, sulit memperoleh kenaikan suara secara signifikan. Sebagai partai warisan ulama jangan sampai PPP terus ditinggalkan konstituen," kata Suryadharma yang juga Menteri Koperasi dan UKM. Sementara Irgan menambahkan bahwa PPP harus memperbaiki citra. "Kami akan mencuci moral dan melakukan konsolidasi," kata Irgan. Ia menegaskan bahwa citra PPP sebagai partai Islami dan partai warisan para ulama harus ditegakkan kembali dengan memperhatikan segala tantangan di masa depan yang pasti lebih berat. Persaingan sesama partai politik pun semakin ketat sehingga upaya merebut hati pemilih harus dilakukan sebaik-baiknya. Kembali ke Kabah Pada awal berdiri PPP menggunakan gambar Kabah sebagai lambang partai dan berasaskan Islam. Lantaran tekanan rezim Orde Baru yang mendesak pemberlakuan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, PPP mengubah lambang dan asas partai. Pada Muktamar I PPP tahun 1984 PPP secara resmi menggunakan asas Pancasila dan lambang partai berupa bintang dalam segi lima. Setelah rezim Orde Baru tumbang yang ditandai pemberhentian Soeharto dari jabatan Presiden RI pada 21 Mei 1998, PPP kembali menggunakan asas Islam dan lambang Kabah secara resmi melalui Muktamar IV akhir tahun 1998. Mohammad Syafaat Mintaredja menjadi Ketua Umum DPP PPP pertama sejak tanggal 5 Januari 1973 sampai ia mengundurkan diri tahun 1978. Selain jabatan ketua umum, pada awal PPP berdiri juga mengenal presidium partai yang terdiri atas KH Idham Chalid sebagai Presiden Partai sedangkan Mohammad Syafaat Mintaredja, M Gobel, H Rusli Halil, dan H Masykur masing-masing sebagai Wakil Presiden. Ketua Umum DPP PPP yang kedua adalah H Jailani Naro. Ia menjabat dua periode. Pertama tahun 1978 ketika Mintaredja mengundurkan diri sampai Muktamar I PPP tahun 1984. Dalam Muktamar I itu Naro terpilih lagi menjadi Ketua Umum DPP PPP. Ketua Umum DPP PPP yang ketiga adalah Ismail Hasan Metareum yang terpilih dalam Muktamar II PPP tahun 1989 dan kemudian terpilih kembali dalam Muktamar III tahun 1994. Ketua Umum DPP PPP yang keempat adalah Hamzah Haz yang terpilih dalam Muktamar IV tahun 1998 dan kemudian terpilih kembali dalam Muktamar V tahun 2003. Hasil Muktamar V tahun 2003 juga menetapkan jabatan Wakil Ketua Umum Pimpinan Harian Pusat DPP PPP yang dipercayakan kepada Alimawarwan Hanan. Ketua Umum DPP PPP yang kelima adalah Suryadharma Ali yang terpilih dalam Muktamar VI tahun 2007 didampingi Wakil Ketua Umum Chozin Chumaidy dan Sekretaris Jenderal Irgan Chairul Mahfiz. (*) Kepengurusan Ketua Umum : Suryadharma Ali Wakil Ketua Umum : Chozin Chumaidy Sekretaris Jenderal : Irgan Chairul Mahfiz Ketua Majelis Pertimbangan Pusat : Bachtiar Chamsyah Nomor Urut : 24 Kantor Jl. Diponegoro No.60 Jakarta 10310 Telp : 021-31936338, 31926164 Fax : 021-3142558 (karena gedung sedang direnovasi Sekretariat DPP PPP pindah sementara ke Jalan Borobudur Nomor 8 Jakarta Pusat) Website: www.ppp.or.id

Oleh Oleh Budi Setiawanto
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008