Kuala Lumpur (ANTARA News) - Mahasiswa Indonesia yang studi di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) sering menjadi korban kejahatan, terutama di Hentian Kajang, selain banyak lagi janji-janji agen pemasaran universitas Malaysia di Indonesia yang tidak sesuai dengan kenyataan. Itu merupakan salah satu dari sekian banyak keluhan mahasiswa Indonesia yang sedang studi di Malaysia ketika berdialog dengan Dubes RI untuk Malaysia Da`i Bachitar dan atase pendidikan Imran Hanafi, di KBRI Kuala Lumpur, Selasa. Dubes Da`i bertemu dan berdialog dengan mahasiswa untuk mendengarkan masalah mereka dan mencoba menyelesaikannya. "Banyak mahasiswa yang tidak mau melaporkan ke KBRI jika terjadi hal yang kurang menyenangkan. Dipendam saja, misalnya bekas ketua PPI di UKM pernah dipenjara beberapa hari oleh polisi hanya karena tidak bawa paspor. Dia tidak mau lapor ke KBRI. Saya tahu dari temannya yang tidak sengaja cerita kepada saya," kata Imran Hanafi, mengajak para mahasiswa untuk selalu melaporkan kepada KBRI jika ada sesuatu yang salah. Mila, mahasiwa asal Bandung yang sedang studi di UKM dan pengurus PPI UKM mengungkapkan sederet masalah, mulai seringnya mahasiswa Indonesia menjadi korban kejahatan di Hentian Kajang. "Sejak kasus penyerbuan Rela ke apartemen ketua PPI UKM Yunus tahun lalu, sudah tercatat 20 kasus kriminal kepada mahasiswa Indonesia yang studi di UKM, mulai dari penjambretan, mau diperkosa, apartamen dan rumah dibobol maling, ada juga mobilnya dibobol maling," kata Mila. "Kami sudah laporkan ke aparat kepolisian setempat dan manajemen kampus tapi hingga hingga kini tidak upaya maksimal," katanya. Para mahasiswa Indonesia dan juga mahasiswa asing yang studi di Indonesia juga mengeluhkan transportasi bus ke dan dari kampus UKM yang sangat jarang. "Saya pernah menunggu selama tiga jam. Kami dan para mahasiswa asing lainnya juga sudah menulis surat, ditandatangani bersama agar minta ditambah bus ke kampus UKM ke RapidKL selaku operator tapi belum ada tanggapan," tambah dia. "Yang kasihan para mahasiswi yang ambil program S2. Kadang-kadang perkuliahan berlangsung hingga jam 11 malam," tutur Mila. Mewakili teman-temannya, Mila juga mengeluhkan diskriminasi pemberian nilai kepada para mahasiswa Indonesia oleh segelintir dosen di UKM. "Kadang-kadang terlontar pula kata-kata yang meremehkan Indonesia," katanya. Banyak mahasiswa Indonesia yang studi di Malaysia tertipu oleh agen-agen pemasaran studi Malaysia di Indonesia. Umumnya keluhan itu ialah biaya kuliah membengkak beberapa kali lipat dari yang diperkirakan sebelumnya, akibat janji-janji agen Indonesia walaupun mereka merupakan agen resmi dari universitas-universitas di Malaysia. Belum lama ini, ada mahasiswa ambil program S2 di UKM, menurut agen sudah lulus ternyata tidak karena tanda tangan wakil dekan dipalsukan oleh agen di Indonesia yang menyatakan dia sudah diterima di UKM. Korban telah habis uang Rp15 juta. Beberapa dosen dari ITS, UGM dan USU juga merasa tertipu setelah mengambil program Teaching Fellowship di UMP. "Karena bila dihitung dengan bayaran mengajar sebagai dosen di Malaysia, kami jauh lebih banyak rugi dibandingkan dengan mengambil program teaching fellowship. Hal itu disebabkan kami tidak mendapatkan gambaran utuh tentang program ini ketika ditawarkan di Indonesia. Masalah yang sering menjadi keluhan juga ialah mengenai kartu pelajar sebagai pengganti paspor. Mahasiswa asing diberikan kartu mahasiswa oleh universitasnya sebagai tanda pengenal pengganti paspor. Tapi di lapangan sering aparat kepolisian dan Rela tidak mau mengakui kartu mahasiswa, mereka masih minta paspor asli. Walaupun banyak keluhan, semua mahasiswa mengakui bahwa fasilitas perkuliahan di universitas-universitas di Malaysia lebih baik dibandingkan di Indonesia. Pergaulan mahasiswa antar bangsa juga lebih bagus di Malaysia. KBRI Kuala Lumpur hanya menampung berbagai masalah di kalangan mahasiswa Indonesia dan mencoba mengatasinya, serta membiasakan jika ada sesuatu yang salah terjadi untuk berikan informasi kepada KBRI.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008