Jakarta (ANTARA News) - Kegiatan ekspor minyak mentah Indonesia merugikan negara antara 3-4 dolar AS per barel berdasarkan data Departemen ESDM, ungkap Indonesia Corruption Watch (ICW). "Berapa kerugian negara kalau ekspor mencapai jutaan barel," kata Koordinator Riset dan Analisis ICW Firdaus Ilyas usai memberikan keterangan dan data ke Pansus BBM DPR di Jakarta, Kamis. Ia mencontohkan, pada 2006, harga rata-rata ekspor minyak mentah sebesar 60,73 dolar per barel, sementara impor mencapai 63,48 dolar AS per barel. Padahal, lanjut Firdaus, seperti klaim pemerintah, kegiatan ekspor merupakan upaya mencari selisih yang lebih besar ketimbang impor. Sebab, ekspor minyak mentah merupakan jenis "light sweet" (ringan) yang harganya lebih mahal dari pada impor yang jenis berat. Menurut dia, pemerintah seharusnya mengalokasikan seluruh minyak mentah bagian pemerintah dan "domestic market obligation" kontraktor ke kilang dalam negeri. Deputi Finansial, Ekonomi, dan Pemasaran Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) Djoko Harsono mengatakan, ekspor dilakukan karena minyak mentahnya tidak bisa diolah kilang Indonesia. Volumenya sekitar sekitar 30.000-40.000 barel barel per hari. Setelah ICW, Pansus BBM yang dipimpin Ketuanya Zulkifli Hasan menerima Ketua Umum Serikat Pekerja (SP) Pertamina Abdullah Sodik. Zulkifli mengatakan, pihaknya menerima keterangan dan data ICW serta SP Pertamina sebagai masukan untuk didalami lebih lanjut. "Kami juga akan mengklarifikasi ke pihak terkait seperti Menteri ESDM, BP Migas, dan Pertamina," katanya.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008