Jakarta (ANTARA News) - Bayangkan anda pemilik perusahaan sehat yang menerbitkan 30 persen sahamnya di pasar modal. Proses produksi perusahaan anda bekerja normal, tiap tahun laba tumbuh, likuiditas tidak bermasalah sehingga tak pernah kesulitan membayar gaji karyawan atau belanja perusahaan. Tetapi tiba-tiba aset perusahaan jatuh tertimpa amblasnya harga 30 persen saham di bursa setelah investor melepasnya tanpa mengindahkan baiknya fundamental perusahaan anda. Bagaimana perasaan anda? Tidak adil bukan? Tetapi ini yang terjadi pada pasar modal global di mana General Motors, Morgan Stanley dan banyak perusahaan sehat di AS dan Eropa mengalami erosi aset padahal tak ada yang salah dalam fundamental mereka. Mereka adalah korban dari kekalutan berbalut keserakahan yang disebarkan para pengail untung di pasar modal yang mencampakkan fundamental emiten, diantaranya lewat pola "short selling." Time, dalam edisi 12 September 2008 menulis, setiap kali pasar finansial runtuh maka telunjuk tuduhan diarahkan ke "short selling" karena meski legal, pola transaksi saham ini kerap membuat pasar yang oleng semakin terjun ke jurang kebangkrutan. "Para pelaku 'short selling' itu penjarah di reruntuhan," tuduh Andrew Cuomo, Jaksa Agung New York, AS. Tidak heran, saat "bailout" miliaran dolar AS tak menghasilkan apa-apa dan malah menghancurkan perusahaan-perusahaan sehat di banyak negara, Financial Service Authority Inggris (FSA) mencucuk "short selling" karena menjadi biang kerok rontoknya bursa London. "(Larangan) ini untuk melindungi integritas dan kualitas fundamental bursa serta menjaga sektor keuangan agar tidak terus-terusan goyah," terang Kepala FSA Hector Sants seperti dikutip Huffington Post (12/10). Bursa London dan Wall Street tidak memilih suspensi (penghentian sementara transaksi saham) karena mungkin dianggap pemurtadan pasar bebas, tetapi memilih mengunci gerbang "short selling." Risiko Peraih Nobel Perdamaian asal Bangladesh, Muhammad Yunus menilai, kapitalisme yang wujud kasarnya terekspresi di pasar modal telah menjadi kasino atau tempat judi. Dan "short selling" adalah layar untuk menerangkan bagaimana praktik judi itu terjadi. Mengutip BBC, "short selling" adalah upaya investor membeli aset satu emiten atau lebih untuk dijual di bursa dengan harapan harganya jatuh, lalu mereka membeli kembali (buy back) pada harga jatuh itu. Mereka kemudian membayar perusahaan penerbit atau kreditor saham pada harga jatuh, padahal nilai riil perusahaan lebih dari itu. Investor menguasai aset perusahaan pada harga berlipat tanpa menginjeksikan sepeser pun dana ke perusahaan itu. Mereka mentransaksikan risiko aset tanpa benar-benar menguasai aset, namun berkuasa dalam merekayasa harga aset dengan mengeksploitasi ekspektasi, memanipulasi prediksi dan mendramatisasi informasi untuk menggiring pasar membentuk harga disasar. Bayangkan jika anda pelaku perdagangan berjangka atau kontrak derivatif aset yang memegang opsi untuk menjual atau membeli saham, indeks, surat utang atau kontrak barang pada syarat telah ditentukan namun belum menyerahkan uang untuk menyelesaikan transaksi. Anda menggenggam opsi beli pada harga Rp10.000 dan opsi jual pada harga Rp15.000, namun anda ingin membeli di bawah Rp10.000 dan menjualnya di atas Rp15.000. Maka, yang anda lakukan adalah mengelola sentimen dan informasi untuk memengaruhi atau bahkan merusak ekspektasi harga aset sampai semua orang terdorong melepas aset sejenis dengan anda pegang. Setelah investor lain melepas aset yang harganya sudah teramputasi, anda menangkap kembali aset itu melalui "buyback" sehingga aset itu kini dikuasai anda dengan ongkos rendah dan kekuasaan besar dalam menentukan harga jual di kemudian waktu. Ketika anda menginginkan untung, maka aset anjlok itu dijual pada harga tinggi di satu momen yang ditentukan oleh anda. Hasilnya, anda pulang ke rumah sebagai OKB (orang kaya baru) sambil menjinjing aset perusahaan tanpa sepeser pun modal anda di neraca perusahaan itu. Mungkin dalam konteks inilah, Bursa Efek Indonesia (BEI) memutuskan mensuspensi perdagangan saham di hampir sepekan kemarin karena pergerakan bursa sudah irasional dan kentara mencoret-coret kertas yang sudah terisi rapi. Kepada Metro TV akhir pekan lalu, Direktur Utama BEI Erry Firmansyah menandaskan, suspensi BEI tidak ditempuh karena otoritas bursa panik, melainkan karena melihat perdagangan saham sepekan kemarin sudah tidak normal. Erry benar, karena alangkah tidak bermoral jika BEI membiarkan spekulasi yang tak memiliki kaitan dengan fundamental pasar, merusak aset perusahaan untuk kemudian menularkan wabah krisis ke keseluruhan perekonomian. "Kami tak bisa membiarkan situasi kalut mengendalikan pasar kita," kata Ketua Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) A. Fuad Rachmany (Antara, 10/10). Suku bunga Sementara itu, sejumlah kalangan yang khawatir krisis keuangan global menjalar ke perekonomian Indonesia agaknya terlalu fokus mengambil fluktuasi harga saham sebagai titik tolak menyampaikan kekhawatirannya. Padahal, melulu melihat gejolak di bursa ketika kontribusi perdagangan saham pada perekonomian nasional tidak signifkan adalah agak berlebihan, apalagi makroekonomi Indonesia berbeda sekali dengan semasa krisis moneter 1998. Sebagian menjadi tidak sabar untuk kemudian menghubung-hubungkan gejolak bursa dengan miskinnya insentif untuk sektor riil dan ujung-ujungnya mendesak bank sentral menurunkan suku bunga. Masalahnya, selama sepuluh tahun terakhir perbankan nasional telah melangkah lebih hati-hati dalam mengelola kredit meski membuat sektor riil kesulitan likuiditas. Ini menjadi bukti ada perubahan di perbankan Indonesia dibanding semasa krisis moneter 1998. Sepuluh tahun lalu, bank-bank sembarangan menyalurkan kredit, tetapi tahun-tahun belakangan ini mereka hati-hati sekali ketika mendistribusikan kredit maupun mengail dana pihak ketiga, entah dari masyarakat atau asing. Saat bersamaan, Bank Indonesia mencermati ketat kondisi ini melalui instrumen suku bunga dan tingkat inflasi untuk memastikan tidak ada satu pun yang keluar jalur. Bank sentral, dan hampir semua organ perekonomian nasional, agaknya belajar dari masa lalu saat Indonesia gampang takluk pada referensi asing yang kadang tak menjawab kebutuhan perekonomian nasional. Tak heran jika Bank Indonesia enggan menggubris rengekan agar suku bunga diturunkan karena mereka memahami fundamental sekaligus rembetan dampaknya terhadap perekonomian jika suku bunga turun. Mandiri Puncaknya, pada 7 Oktober 2008, berseberangan dengan bank-bank sentral global yang serempak menurunkan suku bunga, BI menaikkan BI Rate 25 basis poin menjadi 9,50 persen. BI menyatakan, keputusan itu diambil setelah mencermati dan mempertimbangkan dengan saksama perkembangan keuangan dan ekonomi global serta kemungkinan dampaknya terhadap perekonomian nasional. "BI juga mencermati secara mendalam prospek perkembangan permintaan domestik, neraca pembayaran dan resiliensi sektor keuangan dalam negeri dalam konteks perubahan lingkungan global," kata Gubernur Bank Indonesia Boediono dalam siaran persnya hari itu. Dalam dunia yang interdependen tetapi tidak ada pihak luar yang mampu menjamin stabilitas perekonomian Indonesia terjaga, manuver menurunkan suku bunga sangat berisiko. Jika bunga diturunkan, maka masa depan surat-surat berharga terancam karena eksposur dana dalam obligasi Indonesia mungkin lari ke wilayah lebih atraktif. Jika itu terjadi, meranalah Indonesia. Agak aneh memang, menurunkan daya tarik investasi ketika bunga The Fed justru turun, lagi pula Indonesia tidak sedang didera krisis likuiditas seperti terjadi semasa krisis moneter 1998. Lebih dari itu, apa yang sedang dikerjakan otoritas kebijakan ekonomi mestinya dilihat sebagai bagaimana persoalan nasional dilihat lebih dulu dari keadaan dan tuntutan domestik, bukan semata mengikuti kecenderungan global. Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, telah berani mempercayai resep ekonominya sendiri sehingga, misalnya, ketergantungan pada IMF pun ditanggalkan. Dan jika sekarang inisiatif itu dilanjutkan, sungguh itu yang seharusnya. "Tidak ada yang bisa bantu (Indonesia), semua krisis. Saudagar-saudagar dalam negerilah yang bisa menyelamatkan perekonomian bangsa," kata Wakil Presiden Jusuf Kalla. Langkah mandiri ini adalah keniscayaan mengingat dunia mustahil memberi insentif balik kepada Indonesia jika pun kecenderungan global terus diikuti. China saja tidak tanpa pamrih ketika didesak dunia untuk menurunkan suku bunga. Mengutip Reuters, China bersedia menurunkan suku bunga karena berharap imbalan berupa akses pasar lebih luas dari AS, jaminan Washington untuk berbuat nyata dalam menstabilkan dolar AS (tidak bersiasat) dan diperluasnya peran China dalam IMF. Belajar dari China, tanpa ada jaminan dunia bakal memberi insentif, mengapa Indonesia mesti latah menurunkan bunga? Kasarnya, meminjam bahasa anak muda, "So what gitu lho!(*)

Oleh A. Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008