Jakarta (ANTARA) - Era 4.0 atau juga dikenal dengan era disruptive yang memberi peluang bisnis berkembang cepat dengan memanfaatkan teknologi.

Teknologi digunakan untuk berbagai kebutuhan masyarakat. Misalnya, membeli barang, cukup dengan menggunakan aplikasi di telepon genggam untuk bertransaksi. Barang datang kemudian.

Tidak hanya barang, tetapi juga berbagai layanan lainnya. Masyarakat juga diperkenalkan dengan kecerdasan tiruan yang membuat mesin makin pintar.

Pada era ini, pola komunikasi juga berubah. Semua orang bisa menyampaikan aspirasinya, berkomunikasi dengan orang yang tak dikenalnya, mengomentari orang lain nan jauh di sana.

Era yang memungkinkan teknologi informasi komunikasi dan digitalisasi membuat dunianya sendiri, dunia maya. Dunia yang mampu membuat kerumunan orang berkomunikasi, mampu menjadikan mereka yang jauh menjadi dekat, bahkan sebaliknya menjauhkan mereka yang dekat.

Teknologi telah membuat dunia makin "sempit". Informasi di belahan dunia lain hanya dalam tempo detik dapat disebarluaskan. Era yang ditandai dengan banjir informasi.

Baca juga: Menyiapkan guru pada era Revolusi Industri 4.0

Baca juga: Menristek desak virtual reality dikembangkan hadapi era 4.0


Banjir informasi yang terjadi pada era 4.0 ini menjadi tantangan setiap negara. Negara-negara yang tidak memiliki ideologi yang kuat rentan untuk tenggelam. Suriah menjadi bukti nyata kegagalan sebauh negara pada era banjir informasi saat ini.

Menyadari situasi tersebut, menjadi tugas penting bagi Indonesia untuk menggemakan kembali Pancasila, demikain dikatakan Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah.

Menurut dia, pada era teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang pesat saat ini, Indonesia tengah diserbu oleh ideologi-ideologi transnasional.

“Boleh dikatakan bangsa Indonesia telah mengalami darurat ideologi transnasional,” katanya di Bali usai menjadi pembicara kunci rapat koordinasi dan sinkronisasi materi dan metode melalui dialektika pembinaan ideologi Pancasila untuk masa depan bangsa bagi ASN.

Serbuan ideologi tidak hanya liberalisme Barat yang membawa gaya hidup hedonisme, LGBT, dan narkoba, tetapi juga ideologi berbasis ekstremisme agama yang telah menyerbu dari berbagai penjuru lewat globalisasi berbasis teknologi.

Berdasarkan sejumlah survei, penetrasi ideologi asing sudah mengkhawatirkan. Survei Alvara menunjukkan 19,4 persen ASN terpapar radikalisme. Selain itu, pernyataan Ryamizard Ryacudu (ketika itu masih menjadi Menteri Pertahanan) ada sekitar 3 persen TNI aktif yang terpapar radikalisme, survei BNPT yang menyatakan tujuh kampus negeri terpapar radikalisme. Begitu pula, isu LGBT yang terus kencang didengungkan.

Baca juga: BKKBN : LGBT musuh utama pembangunan

Bahkan, selama 13 tahun usai reformasi 1998 atau sampai dengan 2011, negara Indonesia abai terhadap pengarusutamaan Pancasila. Pancasila sebagai ideologi negara seperti kehilangan pijakan pascareformasi 1998.

Negara tidak lagi menjadikan bahan ajar Pancasila untuk masyarakatnya. Akibatnya, menurut dia, satu generasi terlupa untuk ditanamkan nilai-nilai Pancasila..

Pancasila kembali diperbincangkan saat Taufik Kiemas yang kala itu sebagai Ketua MPR RI mencetuskan ide empat pilar bernegara pada tahun 2012.

Semasa Orde Baru, Pancasila diajarkan secara dogmatis, dan negara adalah penafsir tunggal.

Orde Baru menilai Orde Lama telah melakukan penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945. Untuk itu, semangat yang dibawa Orde Baru adalah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Baca juga: Perubahan tantangan bela negara pada era milenial

Baca juga: Pancasila sebagai perekat keberagaman Indonesia


Orde Baru menciptakan seperangkat regulasi untuk mendoktrinkan Pancasila. Pada tahun 1978, Ketetapan MPR tentang Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) atau dikenal pula sebutan eka prasetya pancakarsa. Sebagai tafsir atas Pancasila.

Negara menyebarluaskan P4 melalui mata ajar di sekolah dan juga penataran P4.

Untuk melaksanakan P4, dibentuklah Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7). Badan ini dibentuk mulai dari pusat hingga kabupaten/kota.

Reformasi 1998 menandai era baru politik di Indonesia. Negara tidak lagi menjadi tafsir tunggal Pancasila. Di sisi lain, pengajaran Pendidikan Moral Pancasila digantikan dengan kewarganegaraan.

BP7 dibubarkan melalui Tap MPR No XVIII/MPR/1998, dan tidak dibentuk lembaga negara yang menangani khusus dalam pengajaran Pancasila.

Pancasila dimunculkan kembali saat Ketua MPR RI 2009—2014 Taufik Kiemas mencetuskan ide empat pilar bernegara pada tahun 2012, kemudian berganti menjadi empat pilar MPR. Empat pilar berisi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Setelah itu, disusul dengan pembentukan Unit Kerja Presiden (UKP) Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP) melalui Perpres Nomor 54 Tahun 2017. Pada tahun 2018, UKP PIP direvitalisasi menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Baca juga: Golkar gelar pendidikan politik mengejawantahkan ideologi Pancasila

Baca juga: Mendagri: ormas tak sesuai Pancasila perlu diluruskan


Era Kolaborasi

Plt. Ketua BPIP Hariyono mengatakan bahwa era baru yang ditandai dengan masyarakat yang melek teknologi saat ini adalah eranya kolaborasi. Pemerintah tidak bisa melakukan penagrusutamaan Pancasila sendirian.

Seluruh komponen masyarakat juga harus turut serta dalam melaksanakan penanaman nilai-nilai Pancasila.

Keluarga juga menjadi inti terpenting dalam upaya menanamkan nilai-nilai Pancasila. Pada era saat ini, keluarga tetap masih memiliki pengaruh terhadap individu.

Sementara itu, dengan pola komunikasi yang berubah pada era 4.0 ini, peneliti dari Pusat Studi Keamanan Nasional Universitas Bhayangkara Indah Pangestu Amaritasari mengusulkan influencer (orang yang berpengaruh) di media sosial dapat dilibatkan untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila dan memperkuat wawasan kebangsaan kepada generasi milenial.

Baca juga: Peneliti: Penanaman Pancasila dapat libatkan Influencer

Baca juga: Tito: Ideologi hanya bisa di lawan dengan ideologi


Hal ini karena generasi ini familier dengan digitalisasai, penggunaan internet dan dipengaruhi oleh media-media sosial, kata wanita yang juga aktif di Yayasan Pingo Indonesia.

Indah menyampaikan bahwa dalam hal penguatan wawasan kebangsaan, penanaman nilai-nilai Pancasila, peran pemerintah sangat penting, apalagi untuk melawan penyebaran paham ekstremisme.

Tentunya dukungan masyarakat juga sangat vital dalam berkolaborasi membangun strategi dan melaksanakannya bersama dalam mengantisipasi ideologi ekstremisme berbasis kekerasan yang mungkin mengarah pada terorisme.

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019