Brisbane (ANTARA News) - Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Agil Siradj, MA berpendapat Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi hanya akan menimbulkan "kerepotan" di masyarakat jika pengesahannya dipaksakan DPR-RI karena sesuatu yang dipaksakan tidak akan langgeng. "Yang namanya paksaan tidak langgeng," katanya menjawab pertanyaan seorang peserta pengajian Perhimpunan Masyarakat Muslim Indonesia di Brisbane (IISB), Selasa malam, sehubungan dengan maraknya pro-kontra di seputar RUU Pornografi yang rencananya segera disahkan DPR-RI itu. Bagi umat Islam Indonesia, apa yang lebih baik disiapkan untuk mereka adalah menanamkan pemahaman yang benar dan menjalankan kewajiban-kewajiban Islam yang bukan bersifat rukun, seperti berjilbab bagi perempuan Muslim. Said Agil Siradj berada di Australia dalam rangka safari Ramadhan di sejumlah kota utama negara itu, seperti Canberra, Adelaide, dan Brisbane, dari 21 hingga 24 September 2008. Persoalan RUU Pornografi kembali memicu pro-kontra di masyarakat dalam dua pekan terakhir. Sinyal penolakan datang dari unsur masyarakat Bali dan Sulawesi Utara kendati terdapat juga pihak yang mendukung dan berupaya netral. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah misalnya berpendapat bahwa tidak ada alasan yang cukup kuat untuk menolak RUU Pornografi ini. Menurut Sekretaris Umum MUI Jateng, Ahmad Rofiq, RUU Pornografi sebenarnya dimaksudkan untuk melindungi perempuan, bukan untuk mengkriminalkan seseorang seperti dikhawatiran beberapa pihak. Di Papua misalnya, masyarakat setempat pelan-pelan ingin berbusana. RUU Pornografi tidak memberangus pakaian adat, pakaian renang, dan hal-hal yang berkaitan dengan kesenian., katanya. Ketua Umum Majelis Adat Dayak Nasional Agustin Teras Narang melihat perlunya RUU Pornografi mengakomodir kebutuhan dan kearifan budaya lokal di setiap daerah. Secara umum, ia menilai substansi yang ada dalam RUU ini tidak memiliki benturan budaya dengan adat istiadat masyarakat Suku Dayak yang mendiami Pulau Kalimantan.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008