Semarang (ANTARA) - Di tengah perbincangan pemilihan kepala daerah langsung dan tidak langsung serta pilkada asimetris, muncul pula wacana larangan eks koruptor menjadi kontestan pilkada serentak, 23 September 2020.

Jika mengacu data Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI), tidaklah berlebihan ada pihak yang tidak sependapat bahwa mantan terpidana korupsi sebagai calon kepala daerah maupun calon wakil kepala daerah.

Bahkan, Ketua KPU Arief Budiman dalam jumpa pers di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (11-11-2019), mengajukan usulan larangan pencalonan mantan terpidana korupsi sebagai calon kepala daerah ke dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).

Sebelumnya, Ketua KPK RI Agus Rahardjo di Kendari, Kamis (7-11-2019), mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengeksekusi sebanyak 1.064 koruptor sejak lembaga antirasuah ini berdiri 17 tahun silam hingga Juni 2019.

Baca juga: Politikus sebut tidak ada larangan eks koruptor maju Pilkada 2020

Dari 1.064 terpidana korupsi yang dieksekusi KPK sejak 2004 sampai dengan Juni 2019, tercatat 385 orang berlatar belakang wali kota/bupati 110 orang, 20 gubernur, serta 255 anggota DPR dan DPRD.

Selain menyeret penyelenggara negara, KPK juga memproses hukum pihak swasta sebanyak 266 orang, pejabat birokrasi setingkat eselon (I/II/III) sebanyak 27 orang, 22 orang hakim, 12 orang profesi pengacara, delapan jaksa, tujuh komisioner, enam orang korporasi, empat duta besar, 27 kepala kementerian/lembaga, dua orang polisi, dan lainnya 118 orang.

Berdasarkan jenis perkara tindak pidana korupsi, tecatat 602 perkara penyuapan, pengadaan barang dan jasa 195 perkara, penyalahgunaan anggaran 47 perkara, tindak pidana pencucian uang (TPPU) 31 perkara, pungutan/pemerasan 25 perkara, perizinan 23 perkara, dan merintangi penyidikan 10 perkara.

Para kepala daerah terbelit perkara korupsi dengan beragam modus, tercatat 188 perkara pengadaan barang dan jasa, 46 perkara pengelolaan anggaran, 23 perkara perizinan, dua perkara pemerasan, tiga perkara penyalahgunaan kewenangan, 31 perkara TPPU, dan 564 perkara penyuapan.

Kacamata Undang-Undang

Namun, dari sisi peraturan perundang-undangan, eks koruptor tampaknya masih berpeluang tampil sebagai peserta Pilkada Serentak 2020.

Terkait dengan peluang itu, alumnus Program Doktor (S-3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Dr. H.M. Iqbal Wibisono, S.H., M.H. pun angkat bicara.

Orang sudah sudah divonis oleh majelis hakim, kemudian selesai menjalani hukuman, menurut Iqbal, secara undang-undang semestinya sudah menjadi warga negara seperti halnya masyarakat kebanyakan.

Menyinggung KPU yang akan memasukkan larangan eks koruptor sebagai peserta pilkada dalam PKPU, Iqbal menegaskan bahwa eks koruptor tetap bisa menjadi calon peserta pilkada karena tidak ada larangan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).

Baca juga: DPR RI gelar Forum Legislasi bahas Pilkada Langsung, apa masalahnya?

Bila KPU berencana memasukkan larangan mantan terpidana korupsi sebagai peserta pilkada dalam PKPU, akan mengulangi hal yang sama ketika penyelenggara pemilu ini mengeluarkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Dalam PKPU tersebut, tanpa ada frasa "kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana". Padahal, frasa ini temaktub di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Iqbal mengingatkan KPU untuk mematuhi putusan Mahkamah Agung. Di dalam Putusan MA Nomor 46 P/HUM/2018 menyatakan bahwa Pasal 4 Ayat (3), Pasal 11 Ayat (1) Huruf d, dan Lampiran Model B.3 PKPU No. 20/2018 sepanjang frasa "mantan terpidana korupsi" bertentangan dengan UU No. 7/2017 Pemilihan Umum juncto UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Kalaupun DPR RI maupun Presiden bermaksud merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada), seyogianya tetap mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015, ada frasa "bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana".

Dengan demikian, kata Iqbal, sepanjang eks koruptor secara terbuka dan jujur mengumumkan bahwa yang bersangkutan bekas narapidana korupsi dan tidak sedang dicabut hak politiknya, bisa menjadi peserta Pilkada Serentak 2020.

Setelah ada putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015, pada Pasal 7 Ayat (2) Huruf g calon kepala daerah/calon wakil kepala daerah harus memenuhi persyaratan tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Peran Parpol

Meski eks koruptor masih berpeluang seturut peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku, masih ada harapan bagi rakyat memilih calon pemimpin yang rekam jejaknya baik. Asa ini ada pada partai politik ketika menjaring bakal pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah.

Analis politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. menyatakan bahwa partai politik harus berani membuka diri sekaligus mereformasi diri menjelang Pilkada Serentak 2020 supaya berani mengusung pasangan calon yang kredibel dan berpotensi baik ketika menjadi kepala daerah kelak.

Dengan demikian, rakyat di 270 daerah yang menggelar pilkada, 23 September 2020, disuguhi dua pilihan yang cukup bagus, bukan ketemu yang terbaik di antara yang buruk.

Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Undip ini lantas menekankan perlunya membangun negara berbasis etika politik yang baik. Artinya, ada mekanisme-mekanisme yang harus dilakukan supaya ada kepastian bahwa pemimpin yang terpilih atau yang dinominasikan untuk dipilih rakyat adalah mereka yang memang punya track record (rekam jejak) yang baik.

Hal lain yang menurut Teguh Yuwono perlu mendapat perhatian parpol ketika menjaring bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah adalah calon yang memiliki komitmen dan pengalaman yang baik sehingga tidak mengarahkan masyarakat pada pilihan-pilahan yang cuma itu-itu saja, apalagi calon yang pernah terlibat dalam kasus korupsi.

"Kalau eks koruptor maju lagi, kemudian berkasus lagi. Contohnya banyak," kata Teguh tanpa menyebutkan siapa saja di antara bupati/wali kota yang eks koruptor melakukan perbuatan yang merugikan uang negara.

Publik kemungkinan masih ingat operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Bupati Kudus Muhammad Tamzil, 26 Juli 2019, atas dugaan praktik jual beli jabatan di Kabupaten Kudus.

Sebelumnya, Tamzil ketika menjabat Bupati Kudus periode 2003—2008 terbukti bersalah melakukan korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan di kabupaten setempat pada tahun anggaran 2004 yang ditangani Kejaksaan Negeri Kudus.

Tamzil divonis bersalah dengan hukuman 1 tahun 10 bulan penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan. Setelah mendapatkan pembebasan bersyarat dari Lapas Kedungpane Semarang, Tamzil bebas pada tanggal 26 Desember 2015.

Tamzil lantas mengikuti Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kudus 2018. Dia bersama pasangannya H.M. Hartopo memenangi pilkada.

Pasangan yang diusung Hanura, PPP, dan PKB ini mengungguli empat pasangan lainnya, yakni Masan/Noor Yasinartai dengan partai pengusung: Demokrat, PAN, Golkar, dan PDIP; H. Nor Hartoyo/Junaidi (perseorangan); Hj. Sri Hartini/H. Setia Budi Wibowo (partai pengusung: PBB, PKS, dan Gerindra); dan H. Akhwan/H. Hadi Sucipto (perseorangan).

Tamzil juga pernah sebagai peserta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah 2008. Pasangan nomor urut 5 Muhammad Tamzil/H. Abdul Rozaq Rais meraih 1.591.243 suara atau 11,36 persen. Namun, dia kalah dengan pasangan H. Bibit Waluyo/Hj. Rustriningsih. Pasangan Bibit/Rustri yang akhirnya memenangi Pilgub Jateng 2008 dengan meraih 6.084.261 suara (43,44 persen).

Baca juga: MPR sebut 826 pasutri bercerai akibat pilkada langsung

Setelah gagal menduduki kursi Gubernur Jateng, Tamzil ikut bursa pemilihan kepala daerah di Kudus pada tahun 2013. Dia yang berpasangan dengan Asyrofi tidak mampu mengalahkan pasangan Musthofa/Abdul Hamid yang meraih 220.448 suara (48,33 persen) dari jumlah suara sah sebanyak 456.204 suara.

Berdasarkan hasil rapat pleno rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara, pasangan Tamzil/Asyrofi meraih 143.678 suara (31,49 persen), Badri Hutomo/Sofiyan Hadi sebanyak 47.514 suara (10,42 persen), Budiyono/Sakiran sebanyak 32.714 suara (7,17 persen), dan pasangan Erdi Nurkito/Anang Fahmi sebanyak 11.810 suara (2,59 persen).

Setelah gagal pada Pilbup Kudus 2013, Tamzil ditetapkan oleh Kejaksaan Negeri Kudus sebagai tersangka dan ditahan pada bulan September 2014. Dia pun mendekam di hotel prodeo. Namun, menurut Iqbal Wibisono, tidak semua eks napi koruptor itu selalu merugikan keuangan negara.

Lepas dari pro dan kontra mantan terpidana korupsi masuk bursa pilkada serentak, parpol perlu lebih selektif ketika akan usung calon peserta supaya rakyat bisa pilih pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah terbaik dari yang baik.

Seyogianya parpol menempatkan di urutan terakhir bakal calon peserta pilkada yang pernah keluar masuk hotel prodeo dengan kasus yang sama (korupsi).

Khusus yang maju lewat jalur perseorangan, hendaknya masyarakat tidak mudah memberi dukungan terhadap mereka yang sering keluar masuk penjara, apalagi terkait dengan kasus korupsi.

Kendati demikian, tidak ada jaminan bagi calon yang rekam jejaknya baik tidak korupsi ketika menjabat kelak. Begitu pula, eks koruptor ketika mendapat amanah dari rakyat, belum tentu mengulangi perbuatan yang sama. 

Baca juga: Revisi UU Pilkada, Denny Indrayana: Antisipasi politik uang

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019