Oleh Budisantoso Budiman Bandar Lampung (ANTARA News) - Perburuan liar menjadi ancaman bagi Taman Nasional Way Kambas (TNWK), di Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung, selain perambahan hutan, pencurian hasil hutan, dan pembakaran dengan cara terlarang. "Ya, perburuan liar merupakan salah satu ancaman serius kelestarian hutan di TNWK ini," kata Koordinator Polisi Hutan Balai TNWK Bustami. Menurut dia, kendati jumlah kasus perburuan liar yang ditangani cenderung menurun, bukan berarti komplotan pemburu satwa langka itu tidak ada lagi. "Mereka semakin canggih dan pintar, sehingga bisa tetap berkeliaran di dalam hutan justru ketika kami tidak berpatroli atau main kucing-kucingan karena mampu memantau aktivitas patroli kami di hutan itu," kata Bustami. Jejak pelaku perburuan liar itu, menurut Koordinator Operasional Tim Rhino Protection Unit (RPU) TNWK Hartato, dapat terlacak dari ditemukannya sejumlah peralatan berburu milik kelompok tradisional maupun modern dalam hutan seluas sekitar 130.000 ha itu. Dia menunjukkan sejumlah barang bukti yang diperoleh, di antaranya berbagai jenis kawat baja (seling) dengan beragam ukuran, dan sejumlah senjata tajam, seperti tombak, golok, dan senjata api rakitan (locok). Hartato juga memperlihatkan bekas-bekas keganasan perburuan liar itu, yaitu berupa kerangka bagian tubuh satwa dilindungi yang didapat dari dalam hutan. Contoh itu, antara lain kerangka badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), dan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Selain satwa langka dilindungi jenis mamalia besar, satwa lain yang diincar pemburu adalah babi hutan, kijang, dan rusa sambar (Cervus unicolor). Mereka adalah para pemburu tradisional yang biasanya menggunakan beberapa ekor anjing geladak terlatih dan sejumlah peralatan. Pemburu lokal atau tradisional itu umumnya mengincar babi hutan, kijang, dan rusa, antara lain untuk dimakan sendiri maupun dijual di pasar setempat. Pemburu lain diduga merupakan bagian komplotan jaringan perburuan liar yang mengincar bagian tubuh satwa langka untuk diperjualbelikan sampai keluar negeri. Mereka biasa menggunakan peralatan modern, seperti telepon genggam, sepeda motor atau mobil berburu, dan senjata api. "Kami sudah berupaya maksimal mengamankan satwa liar langka dilindungi di hutan ini. Tapi pelaku pemburu liar juga semakin pandai dan lihai," kata Bustami. Polisi Hutan selain mendapatkan dukungan dari personil RPU, juga mengkoordinasikan penanganan pemburu liar itu dengan Polres setempat. Polres Kabupaten Lampung Timur (Lamtim) juga berkali-kali memproses hukum tersangka pelaku perburuan liar di dalam kawasan hutan TNWK itu. Pengadilan juga sudah memvonis pelaku perburuan liar maupun perambahan dan pengrusakan hutan (termasuk pembakaran hutan) dengan hukuman satu hingga lima tahun penjara. Belum lama ini, Polres Lamtim membekuk tersangka perburuan liar, M. Musa Syaifullah bin M Said (36), yang sempat buron selama dua tahun, berdasarkan laporan dari Polhut TNWK, Tim RPU, dan warga setempat. Tersangka diserahkan ke Kejaksaan Negeri Sukadana, berikut barang bukti dan berita acara pemeriksaan untuk segera disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Sukadana. Menurut saksi petugas dari RPU TNWK, Muslimin, tersangka pelaku perburuan liar di dalam kawasan hutan TNWK itu dipergoki petugas yang sedang berpatroli di hutan itu pada 21 Januari 2006, sekitar pukul 02.00 WIB dinihari, di jembatan Umbul Ogan, Rajabasa Basa Lama Dua, Kec. Labuhan Ratu, Lamtim. Pelaku terlihat membawa serta sebuah senjata api laras panjang. Dua orang lolos dari sergapan petugas setelah berusaha menakut-nakuti dengan senjata yang mereka pegang. Satu pelakulolos menggunakan sepeda motor, dan satu pelaku lainnya kendati hampir diringkus akhirnya juga bisa melarikan diri dari sergapan petugas Polhut dan RPU TNWK itu. Namun dari sekitar lokasi, petugas mendapati barang bukti, termasuk karung berisi seekor kijang dalam keadaan mati yang telah dipotong. Kijang itu luka tembak di paha yang dipastikan ulah para pemburu liar itu. Kendati saat itu tidak berhasil membekuk pelakunya, petugas Polhut dan RPU TNWK melaporkan tindak pidana itu ke Polsek Way Jepara dan Polres Lamtim yang kemudian melakukan perburuan. Dua tahun kemudian, polisi mendapatkan informasi dari masyarakat mengenai kehadiran salah satu pelaku perburuan liar itu di rumahnya. Sebelumnya, polisi beberapa kali menggerebek rumah itu, tapi gagal menemukan pelaku. Pada 30 Juli 2008, satu pelaku perburuan liar itu dibekuk di rumahnya Dusun Gunung Terang, Desa Labuhan Ratu. Namun satu pelaku lainnya hingga kini belum diketahui keberadaannya. "Kami terus memburu pelaku lain setelah Syaifullah ini berhasil ditangkap dan akan diproses hukum lebih lanjut," kata penyidik dari Polres Lamtim Briptu Slamet Hariyanto, didampingi Korwas PPNS Bripka Wahyu Rihadi yang mendampingi Kasatreskrim Polres setempat, AKP Sugianto. Menurut pengakuan Syaifullah, pelaku yang masih buron adalah MW (30), warga Desa Rajabasa Lama Induk, Kecamatan Labuhan Ratu, yang sehari-hari bekerja sebagai petani di sana. Penerapan hukuman yang relatif berat bagi pelaku tindak pidana pelanggaran perundangan lingkungan hidup (penebangan liar, perburuan satwa dilindungi, perambahan hutan), dipercayai dapat menurunkan kasus hukum yang diproses di lingkungan hutan TNWK. Menurut Bustami dan Hartato, kasus-kasus tindak pidana yang terjadi di TNWK cenderung makin berkurang sejak tahun 2003. "Proses hukum pelaku tindak pidana di sekitar TNWK sampai pengadilan dan tidak ada kompromi lagi," kata Bustami. Pada 2003 terdapat 58 kasus pidana dengan 106 tersangka di TNWK, dengan kebanyakan kasus penebangan kayu di hutan. Pada 2004 kasus itu turun menjadi hanya 36 kasus (50 tersangka), tahun 2005 sebanyak 15 kasus (29 tersangka), 2006 sebanyak sembilan kasus (14 tersangka), 2007 terdapat sembilan kasus (12 tersangka), dan tahun 2008 terjadi lima kasus yang sedang ditangani dengan delapan tersangka. Di antara kasus pidana di hutan TNWK itu ditemukan pula kasus pembakaran hutan dan pencurian ikan di sungai. "Mencuri ikan di sungai di hutan TNWK bisa dianggap sepele kasusnya, tapi dampaknya bisa serius bagi kelestarian hutan, keberadaan flora dan fauna di dalamnya serta biasanya pelaku melakukan pula aktivitas pembakaran yang bisa meluas di hutan ini," ujar Bustami. Menurut Hartato, 20-an personil pengamanan badak dan mamalia besar di hutan itu kerap memergoki pelaku tindakan kejahatan, terutama penebangan liar dan perburuan satwa dilindungi. Sebanyak 20 personil itu bergiliran berpatroli setiap hari. Dia membenarkan, dalam lima tahun terakhir, kasus pidana yang kedapatan di TNWK cenderung menurun ,termasuk pencurian kayu dan perburuan liar meskipun tetap harus diwaspadai dan diantisipasi, mengingat indikasi komplotan pelaku pemburu liar dan pembalakan liar juga terus berkeliaran. "Hukuman berat serta hampir tidak ada kasus temuan tindak pidana tanpa proses hukum, dapat berefek jera dan membuat pelaku baru berpikir dua kali untuk melakukannya," ujar Bustami. Pemburu satwa liar jenis langka dan dilindungi sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dapat diancam dengan hukuman pidana kurungan selama lima tahun atau denda mencapai Rp100 juta. Ancaman hukuman berat itu, menurut staf RPU, Ujang Suryadi, diharapkan dapat menekan tindak pidana di hutan di Lampung. Menurut Ujang, UU tersebut diantaranya menyebutkan, setiap orang dilarang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, memperniagakan satwa dilindungi dalam keadaan hidup atau mati. RPU menempatkan personilnya dalam pengamanan dan perlindungan satwa liar dilindungi dalam kawasan hutan TNWK di Kabupaten Lampung Timur, dan TN Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di Kabupaten Lampung Barat dan Tanggamus (Lampung) maupun Bengkulu Selatan (Bengkulu). Hingga saat ini, kendati cenderung menurun untuk perburuan liar satwa langka jenis mamalia besar, RPU dan pengelola dua TN di Lampung, menyebutkan adanya kecenderungan peningkatan kasus perburuan liar terutama jenis satwa langka seperti babi hutan, kijang, dan rusa yang adalah juga jenis satwa langka dan dilindungi di dunia. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008