Jakarta, (ANTARA News) - Majelis hakim telah berketetapan. Urip dinyatakan bersalah karena menerima uang 660 ribu dolar AS dan Artalyta Suryani dan melakukan pemerasan sebesar Rp1 miliar terhadap mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glen Surya Yusuf. Akibatnya, jaksa kelahiran Sragen, Jawa Tengah itu diganjar hukuman 20 tahun penjara dan denda Rp500 juta. Urip dijerat dengan menggunakan pasal 12 B dan 12 E UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan pasal 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam putusannya, majelis hakim berkeyakinan bahwa Urip dengan sengaja membocorkan proses penyelidikan perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang kemungkinan menyeret pimpinan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim. Urip terbukti membocorkan proses penyelidikan kepada Artalyta Suryani, pengusaha yang dikenal dekat dengan Sjamsul Nursalim. "Terdakwa melindungi kepentingan Sjamsul Nursalim untuk mendapatkan imbalan," kata hakim Andi Bachtiar. Majelis hakim menegaskan, Urip telah dengan sengaja menyarankan kepada Artalyta tentang cara-cara yang bisa ditempuh agar Sjamsul Nursalim tidak perlu menghadiri panggilan pemeriksaan di Kejaksaan Agung. Pertimbangan hukum majelis hakim antara lain didasarkan pada petunjuk hasil sadapan asli yang dilakukan terhadap pembicaraan Urip dengan berbagai pihak melalui telepon. Progresif Teguh Hariyanto, Ketua majelis hakim yang menangani perkara Urip, mengatakan Urip telah melakukan kesalahan fatal. Sebagai penegak hukum, dia seharusnya memberikan contoh penegakan hukum, bukan memanfaatkan kedudukan sebagai alat untuk memperkaya diri. "Namun justru sebaliknya, terdakwa mengkormesialkan kedudukannya untuk kepentingan pribadi," kata Teguh. Pertimbangan hukum teguh itu didasarkan pada fakta persidangan berupa sejumlah bukti asli hasil sadapan pembicaraan telepon antara Urip Tri Gunawan dengan sejumlah pihak. Inti dari sejumlah pembicaraan itu adalah upaya untuk meloloskan Sjamsul Nursalim dari jerat hukum untuk mendapatkan imbalan. Majelis menyatakan Urip telah menghubungi jaksa Hendro Dewanto untuk membantu mencarikan solusi kasus BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim. Hendro Dewanto adalah anggota tim jaksa BLBI yang berperan dalam menganalisis hasil penyelelidikan kasus itu. Dalam pembicaraan yang terjadi pada 7 Desember 2007 itu, Urip berulangkali meminta tolong kepada Hendro. "Terdakwa berulang-ulang meminta Hendro Dewanto untuk mencarikan jalan keluar kasus BLBI BDNI," kata hakim Teguh Haryanto. Hakim juga membeberkan pembicaraan Urip dengan Artalyta pada tanggal 25 Februari 2008. Dalam pembicaraan itu, Artalyta menyatakan komitmennya untuk menyediakan sesuatu dengan mengatakan,"Pokoknya aku sudah ready, tinggal tunggu waktu aja." "Itu terkait dengan rencana pemberian uang 660 ribu dolar AS," kata hakim Teguh menambahkan. Majelis menyebutkan, Urip telah beberapa kali menjalin komunikasi dengan Artalyta yang antara lain menyebutkan tentang sesuatu yang akan diberikan kepada Urip. Kemudian, sesaat setelah penghentian kasus BLBI pada 29 Februari 2008, Urip juga menghubungi Artalyta untuk memberitahu bahwa penyelidikan kasus tersebut telah dihentikan, seperti keinginan Artalyta. Dalam pembicaraan itu, Artalyta menyatakan kesiapannya untuk memberikan uang kepada Urip pada Minggu, 2 Maret 2008. Pada hari yang ditentukan itu, Urip ditangkap karena menerima uang 660 ribu dolar AS. Majelis berkeyakinan, pemberian itu terkait dengan penyelidikan kasus BLBI. Teguh melihat kasus Urip sebagai kasus yang luar biasa, sehingga harus diselesaikan dengan cara yang luar biasa pula. Sebelum mengetukkan palu penanda amar putusan selesai dibacakan, Teguh Hariyanto memaparkan pertimbangan majelis hakim mengapa Urip dijatuhi hukuman maksimal, yaitu 20 tahun penjara seperti termuat dalam ketentuan pasal 12 B dan 12 E UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang didakwakan. Majelis hakim melihat Urip adalah representasi dari sebuah arogansi kekuasaan yang tidak mengenal malu. "Hal ini menimbulkan apriori masyarakat terhadap penegak hukum," kata Teguh. Selain itu, majelis hakim juga mencermati ketertarikan publik terhadap kasus Urip. Hal itu membuat majelis harus mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat dalam manjatuhkan hukuman. Ada keyakinan bahwa hanya metode penghukuman yang progresif dan menimbulkan efek jera yang dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat dalam kasus Urip. "Majelis harus mengambil langkah progresif dalam perkara tindak pidana korupsi," kata Teguh Hariyanto menambahkan. Sikap Urip selama menjalani persidangan dianggap buruk sehingga menjadi pertimbangan memberatkan. Majelis manuding Urip telah mencemarkan citra penegak hukum, melakukan diskriminasi penegakkan hukum dengan melindungi kepentingan Sjamsul Nursalim, melakukan lebih dari satu tindak pidana korupsi, tidak mengakui perbuatan dan terkesan berbelit-belit dalam memberikan keterangan, serta telah melukai nurani rakyat. "Pertimbangan meringankan, tidak ada," kata Teguh. Rekor Dalam sejarah penegakan hukum di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Urip telah "memecahkan rekor" vonis. Hukuman 20 tahun penjara belum pernah dijatuhkan di pengadilan bagi terdakwa perkara korupsi itu, khususnya mereka yang dari kalangan penegak hukum. Urip berhasil merebut posisi puncak dengan mengalahkan Irawady Joenoes, komisioner Komisi Yudisial yang juga tertangkap tangan menerima sejumlah uang dari pengusaha. Irawady dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman delapan tahun penjara karena terbukti menerima suap. Kasus Urip cukup unik karena majelis hakim menjatuhkan hukuman lima tahun lebih berat dari tuntutan tim Jaksa Penuntut Umum. Kasus serupa sebenarnya pernah terjadi di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi. Namun tetap saja, Urip masih pemegang "rekor". Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), setidaknya ada empat terdakwa yang dihukum sama atau lebih berat dari tuntutan jaksa. Diantara kasus-kasus itu adalah kasus yang menjerat "kolega" Urip, Artalyta Suryani. Wanita itu dinyatakan bersalah dan harus dipenjara lima tahun, sama dengan tuntutan JPU. Hal serupa menimpa pejabat Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Tengah, Hari Purnomo yang dinyatakan bersalah karena diduga melakukan korupsi pengadaan bantuan korban tsunami sehingga merugikan negara Rp1,46 miliar. Perkara lain yang cukup menyita perhatian publik adalah dugaan korupsi pengadaan helikopter Mi-2 Rostov buatan Rusia dengan terdakwa Abdullah Puteh ketika menjadi Gubernur Aceh. Puteh diganjar sepuluh tahun penjara, dua tahun lebih berat dari tuntutan jaksa. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri juga menerima "getah" perkara korupsi pengumpulan dana non bujeter. Ia harus meringkuk tujuh tahun di penjara, padahal jaksa hanya menuntut enam tahun. Melihat data itu, Urip selayaknya "bangga" sembari bersedih. Dia menjadi terdakwa pertama yang diganjar 20 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi. Di sisi lain, para majelis hakim perkara tindak pidana korupsi perlu berkaca pada majelis yang berani menjatuhkan hukuman seumur hidup kepada pembobol bank BNI, Adrian Waworuntu, atau Presiden Komisaris Bank Harapan Sentosa, Hendra Raharja. Dengan keberanian untuk menjatuhkan hukuman seumur hidup, majelis telah meningkatkan "persyaratan" bagi para koruptor untuk bisa merebut "medali emas" dari tangan Urip Tri Gunawan.(*)

Oleh Oleh F.x. Lilik Dwi Mardjianto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008