Oleh Abd. Aziz Surabaya (ANTARA News) - Memasuki bulan suci Ramadan, suasana di dalam kota Pamekasan, Madura, Jawa Timur di sore hari jauh berbeda, hari-hari biasanya. Penjual makanan mendominasi pemandangan kota, hampir di semua jalan-jalan kota di Pamekasan. Mulai dari jalan Jokotole, Trunojoyo, hingga di jalan kabupaten, bahkan termasuk di sekitar monumen Arek Lancor yang merupakan jantung kota Pamekasan. Tidak sedikit diantara mereka itu mereka itu merupakan wajah-wajah baru yang sebelumnya sama sekali tidak pernah berjualan. Ada pula yang kesehariannya berjualan mainan anak-anak, tapi memasuki bulan Ramadan banting stir menjadi penjual makanan ringan, yang sering disebut "ta`jil". Salah satunya seperti yang dilakukan Suwardi. Sebelum bukan Ramadan, warga asal Malang ini biasa berjualan mainan anak-anak, yang mangkal di jalan Slamet Riadi, sebelah utara monumen Arek Lancor Pamekasan. Saat memasuki bulan suci Ramadan, Suwardi beralih menjadi pejual ta`jil, juga di tempat yang sama. "Biasa mas, cari rejeki. Kalau jualan mainan terus, siapa yang mau membeli. Ya, mengikuti kebutuhan pembeli saja," katanya. Beralih barang jualan seperti yang dilakukan Suwardi ini, nampaknya sudah menjadi kebiasaan bagi para pedagang jalanan di Pamekasan. Suwardi tidak sendirian, tapi banyak teman-temannya yang melakukan hal yang sama. Salah satunya Karim. Sebelum memasuki bulan Ramadan, Karim biasanya berjualan kaos kaki dan bungkus remote yang biasa keluar masuk kantor di Pamekasan. Namun memasuki bulan Ramadan, Karim beralih menjadi penjual kurma. Lain Karim, lain juga cerita Maryati. Perempuan berusia 45 tahun asal desa Pademawu ini, sebenarnya bukan seorang pedagang. Tapi ia menjadi penjual minuman legen selama Ramadan. "Saya sebenarnya buruh tani. Tapi karena di rumah banyak tetangga yang memproduksi legan dan biasanya pada bulan puasa banyak yang membeli, maka saya jualan. Lumayan lah, hasilnya bisa buat buka puasa dan sahur," katanya. Tidak seperti penjual Suwardi dan Karim si penjual kurma yang memiliki modal sendiri, nenek dua orang cucu ini, justru berjualan tanpa modal sedikitpun. Maryati hanya menjualkan legen milik tetangganya. "Pemiliknya ini kan memberi harga ke saya 2500 rupiah per-botol. Harga jualnya terserah saya, mau dijual 3000, 4000 atau 4500 yang penting, begitu pulang saya menyetorkan uang 2500 per-botol dan yang tidak terjual dikembalikan," ujarnya. Bagi para pedagang makanan dan minuman, bulan suci Ramadan diyakini membawa berkah tersendiri. Meski meski hanya berjualan di sore hari, hasilnya tidak kalah dengan yang berjualan sehari penuh. Seperti yang diakui Sukron, penjual buah tape Bondowoso di jalan Jokotole Pamekasan. Meski ia berjualan hanya mulai sore hari, tapi hasilnya tidak kalah dengan yang berjualan sehari penuh bahkan, lebih banyak. "Soalnya begitu saya datang dan dagangan digelar, pembeli langsung datang beramai-ramai seperti rombongan. Jadi dagangan cepat habis. Sementara kalau di hari-hari biasa mulai pagi, kadang hingga malam, kadang masih ada". Apa yang terjadi pada penjual tape Sukron ini, ternyata juga dialami Samsiyah (49) penjual buah yang biasa mangkal di jalan Agus Salim Pamekasan. Meski harga buah semakin naik, tapi di bulan Ramadan ini dagangannya cepet laku dibanding hari-hari biasa. Pada hari-hari biasa, Samsiyah mulai berjualan dari pukul 8 pagi dan baru habis terjual paling lambat pukul 9 malam. Tapi sejak bulan Ramadan, ia hanya berjualan selama 5 jam, yakni mulai pukul 3 sore dan paling lambat pukul 19.00 sudah habis. Hal yang sama juga diakui Amin, pedagang sate lalat di kawasan Sae Salera, jalan Niaga Pamekasan. "Sekarang saya bukan jam 3 sore, jam 9 malam sudah habis. Kalau dulu, paling awal jam 12, kadang sampe jam 2 malam masih ada," katanya. Bagi Amin, bulan puasa bukan menjadi penghalang untuk mencari rejeki, tapi justru di setiap bulan puasa itu, ia mendapat rejeki lebih dibanding hari-hari biasanya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008