Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah membentuk tim khusus untuk renegosiasi harga kontrak LNG lapangan Tangguh, Papua, ke pembeli di Fujian, China, karena harga kontrak dinilai terlalu rendah. "Pembentukan tim diputuskan tadi malam (Senin, 25/8)," kata Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Kardaya Warnika di Jakarta, Selasa. Pelaksanaan renegosiasi LNG Tangguh diserahkan ke Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). "Ketuanya wakil dari BP Migas karena terikat kontrak adalah BP Migas," kata Karnika tanpa merinci anggota tim yang dimaksud. Saat ini kontrak LNG Tangguh mendapat sorotan dari sejumlah kalangan karena harga kontrak dinilai terlalu rendah. Wapres Jusuf Kalla juga menegaskan kontrak LNG Tangguh paling merugikan negara karena harga gas tidak dikaitkan dengan harga minyak. Selain itu sejumlah pihak juga mendesak agar dilakukan investigasi terkait kontrak yang ditandatangani sejak tahun 2002. Menanggapi hal itu, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro menilai isu yang berkembang terkait harga jual LNG Tangguh ke Cina, sudah dipolitisasi. "Berdasarkan penelusurannya, isi kontrak LNG Tangguh tidak ada yang menyimpang. Harga yang diperoleh adalah sudah tepat sesuai kondisi saat itu," kata Purnomo. Menurut Purnomo, dirinya telah memeriksa kronologis LNG Tangguh, dan tidak ada apa-apa. Harga jual LNG Tangguh disepakati saat kontrak disepakati hanya 2,4 dolar AS per MMBTU, dengan patokan harga minyak mentah 25 dolar AS per barel. Meski kemudian, harga dinegosiasikan kembali di tahun 2006, dan diperoleh harga 3,8 dolar AS per MMBTU. Wapres Jusuf Kalla membandingkan harga LNG dari kilang lain, seperti Bontang jauh lebih tinggi. LNG Bontang misalnya untuk ekspor ke Jepang, Indonesia mendapat harga 20 dolar AS per MMBTU, dengan patokan harga minyak 110 dolar AS per barel. Menurut Purnomo, memang patokan harga minyak ketika itu lebih rendah dibanding harga minyak sekarang. "Hanya saja harus diperhatikan juga latar belakang kenapa harga tersebut yang didapat," tegas Purnomo. Sementara Dirjen Migas Evita H Legowo, mengakui sulit mengetahui harga yang tepat untuk gas, karena harus memperhatikan banyak hal, antara lain lokasi sumber gasnya, dikirim ke mana, termasuk harus memperhitungkan biaya angkutnya. "Jadi kita bisa menyebutkan berapa harga yang wajar," kata Evita. Ia juga tidak bisa memastikan, berapa harga yang diinginkan pemerintah dengan patokan kondisi harga minyak mentah di atas 100 dolar AS per barel. "Harga minyak mentah ketika itu dipatok di batas atas 38 dolar AS per barel. Jadi tidak semudah itu menaikkan harga, karena dalam kontrak tertera kalau mau renegosiasi ulang itu empat tahun sekali," kata Evita. Terkait renegosiasi itu, ia mengutarakan, pemerintah tetap mengusahakan bisa tercapai tetapi tidak bisa ditargetkan harga berapa yang bisa disepakati.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008