Surabaya (ANTARA News) - Organisasi kewartawan "tertua" di Tanah Air, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) akan menyelenggarakan Kongres, pada 28-29 Juli 2008 di Nanggroe Aceh Darusalam (NAD), dengan salah satu agenda utama memilih Ketua Umum (Ketum) baru, mengantikan Tarman Azzam yang telah menjabat selama dua periode 1998 hingga 2008. Ada beberapa calon pengganti Tarman yang kelak "menahkodai" kumpulan para jurnalis ini, mereka yang mengemuka adalah Parni Hadi, dan Wina Armada serta Dhimam Abror Djuraid. Berikut padangan Abror(45) yang kini menjadi Pemred Harian yang terbit di Kota Pahlawan, Surabaya, Surya (Kompas Grup) yang kini juga menjadi Ketua PWI Jatim kepada ANTARA di Surabaya, Selasa, mengenai kesiapannya berebut kursi "PWI I". PWI adalah organisasi kewartawanan tertua dan terbesar di Indonesia. Dengan anggota 12 sampai 14 ribu, PWI juga organisasi wartawan terbesar di Asia Tenggara. "PWI juga terbukti sangat solid," katanya. Namun dalam perjalanan sejarahnya PWI juga menghadapi masa-masa sulit seperti pada saat reformasi 1998, meskipun telah dilewati dengan baik. Konsolidasi internal berlangsung sangat baik dan hasilnya adalah organisasi yang solid seperti yang kita lihat sekarang. Menurut Abror, PWI harus berterima kasih kepada Tarman Azzam yang menjabat sebagai ketua selama dua periode jabatan yaitu sejak 1998 sampai 2008. Selama satu dasawarsa kepemimpinannya, Tarman telah membuktikan keandalannya sebagai seorang organisatoris. Tarman adalah tipe seorang "solidarity maker", tokoh yang mampu menggalang solidaritas dan soliditas. Tarman melakukan perjalanan ke seluruh penjuru negeri, berbicara dengan berbagai level pengurus PWI di seluruh Indonesia untuk mengokohkan pondasi organisasi. Sayang sekali, PD/PRT (Peraturan Dasar-Peraturan Rumah Tangga) membatasi kepemimpinan hanya dua kali. Kalau saja boleh tiga kali, Jawa Timur tidak akan ragu-ragu memilih kembali Tarman Azzam, katanya. Tetapi, roda organisasi harus terus menggelinding ke depan. Tidak boleh ada langkah surut. Sebagai organisasi besar PWI pasti tidak akan kekurangan kader. Beberapa kader dari jajaran pengurus pusat layak untuk tampil menggantikan Tarman. Misalnya, Wina Armada yang sekarang menjadi Sekjen PWI, Henry Ch Bangun yang sekarang ketua bidang pendidikan, dan beberapa tokoh lain seperti Marah Sakti maupun Kamsul Hasan, ketua PWI Jaya. Dari daerah ada beberapa nama yang cukup layak seperti Yoyo Adiredja, ketua PWI Jabar dan Sasongko Tejo, ketua PWI Jateng. "Saya secara pribadi juga siap untuk maju memperebutkan kursi Ketum demi kemajuan organisasi", kata ayah tiga anak yang semuanya laki-laki ini, Zidny "Sydney" Ilman, Jordan Fahmi, dan Jericho Fikri. Menurut jebolan Stikosa-AWS (Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Massa-Almamater Wartawan Surabaya) ini, selama ini Ketum PWI selalu muncul dari Jakarta. Sehingga skaranglah saatnya tokoh dari daerah muncul. Jawa Timur adalah barometer pers nasional, siapa yang memimpin Jatim layak untuk memimpin organisasi level nasional. "Bagi saya, regenerasi adalah mutlak kalau organisasi ini tidak mau ketinggalan kereta. Darah muda yang segar sangat dibutuhkan supaya organisasi bisa melaju kencang. Saya melihat PWI ini sudah besar, tapi reputasi internasional masih kurang", tuturnya menegaskan. "Saya ingin membawa PWI sebagai organisasi yang disegani di level internasional. Anggota kita sangat besar tapi nyaris tidak dikenal di dunia internasional. Selama ini yang mendapat perhatian dari organisasi internasional malah organisasi yang lebih kecil dari PWI", kata mantan Pemred Jawa Pos (1997-2001) ini menegaskan. Mengapa begitu? tanya Abror yang dijawabnya sendiri. Ada beberapa sebab, yang pertama PWI tidak cukup "pede" (percaya diri) untuk maju ke palagan internasional, yang kedua PWI masih kena stigma sebagai pewaris Orde Baru. "Saya ingin mengatasi kedua hal tersebut. Saya pernah empat tahun bertugas di Australia dan saya pernah di Eropa dan Amerika Serikat. Saya mempunyai akses ke `Center For Foreign Journalist` di Amerika, karena saya adalah alumni yang pernah menerima bea siswa. Saya punya hubungan dengan `Committee to Protect Journalist` dan saya punya akses kepada dunia akademisi di AS", papar mantan Ketua Pengprov PSSI Jatim (2000-2005) ini. "Kita bisa memanfaatkan akses ini untuk mendapatkan bantuan teknis, misalnya, bantuan tenaga ahli untuk memberi pelatihan keterampilan wartawan Indonesia", lanjut suami Ari Murtiani ini. Warna intelektualitas PWI harus kelihatan. Jangan takut masuk di lingkaran seminar ilmiah, baik mengenai jurnalistik maupun isu ilmiah yang lain. PWI harus berani mewarnai perdebatan wacana, misalnya, soal isu yang paling hangat seperti neoliberalisme, kebebasan beragama, demokrasi dan isu-isu penting lainnya. Kolektivitas PWI ini organisasi profesi bukan organisasi komando atau organisasi birokrasi. Hubungan pusat dengan cabang seharusnya didasarkan kepada kesetaraan dan kolektivitas bukan hubungan komando atau perintah. Wilayah Indonesia terlalu luas untuk bisa di"cover" dari Jakarta. Karena itu, cabang-cabang harus diberdayakan. Harus dibentuk semacam korwil, misalnya, korwil Sumatera, Kalimantan, Bali-NTB-NTT, Sulawesi-Papua dan sejenisnya. Para korwil ini adalah ketua PWI cabang yang diangkat juga menjadi pengurus pusat non-pleno. Mereka bisa berkumpul setidaknya setahun sekali. Isu lainnya adalah mengenai nasionalisme wartawan Indonesia. "Saya ingin wartawan Indonesia punya kesadaran sebagai seorang patriot. Harus ada kesadaran bahwa wartawan Indonesia mengabdi kepada profesionalisme dan patriotisme. Artinya, wartawan Indonesia mengutamakan kepentingan bangsa (bukan kepentingan pemerintah) di atas segalanya," ucap Ketua PWI Jatim yang menduduki jabatan organisasi untuk periode kedua 2008-2011 ini. Pemerintah bisa datang dan pergi tapi bangsa Indonesia akan tetap ada. "Saya bukan sok ke-amerika-amerikaan. Pers Amerika sangat liberal mengontrol pemerintahnya. Tapi kalau sudah menyangkut persoalan internasional, pers Amerika bersatu mendukung kepentingan bangsanya. Pers Indonesia harus merumuskan sikap patriotisme ini", kata pria kelahiran Surabaya 1 Agustus 1963 ini. Masalah keuangan organisasi, menurut dia, bukan sesuatu yang rumit. Sebagai organisasi besar PWI pasti tidak sulit melakukan "partnership" yang saling menguntungkan dengan organsisasi swasta maupun pemerintah. Asal pengelolaan keuangan profesional dan transparan pasti akan ada jalan untuk mendapatkan sumber keuangan, pungkas penulis buku "Globalisasi, Modernisasi, Hibridisasi: Catatan Mingguan Seorang Wartawan" ini. Berikut data pribadi Abror, salah seorang wartawan Indonesia yang akan bersiap untuk mengadu pencalonannya sebagai ketua PWI pada kongres akhir pekan ini. Nama: Dhimam Abror Djuraid Tempat/tanggal lahir: Surabaya 1 Agustus 1963 Status: Menikah dengan Ari Murtiyani, serta memiliki tiga anak laki-laki yaitu Zidny "Sydney" Ilman, Jordan Fahmi dan Jericho Fikri Karir: Pemred Harian Surya (Kompas Grup), pernah menjadi pemred Jawa Pos (1997-2001), menjadi direktur eksekutif PT Jawa Pos Radar Timur Organisasi: - Ketua PWI Jatim (sekarang periode kedua 2008-2011) - Pernah menjadi ketua Pengda PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) Jawa Timur 2000-2005 - Sekarang menjadi ketua Yayasan Pendidikan Wartawan Jawa Timur yang membawahi Stikosa-AWS (Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Massa-Almamater Wartawan Surabaya). Buku: "Globalisasi, Modernisasi, Hibridisasi; Catatan Mingguan Seorang Wartawan" dengan kata pengantar oleh Janet E. Steele, associate professor dari George Washington University, Amerika Serikat Hobi: Sepakbola ***7*** (T.C004/B/M007/M007) 23-07-2008 19:32:35 NNNN

Oleh Oleh Chandra Hamdani Noor Ichw
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2008