Borobudur (ANTARA News) - Komunitas seniman "Lima Gunung Magelang" memaafkan kekhilafan panitia HUT Ke-108 Paroki Ignasius Kota Magelang atas pemasangan spanduk bertuliskan "Kirab Budaya Lima Gunung" tanpa melibatkan komunitas seniman rakyat itu. "Teman-teman sudah memaafkan," kata salah seorang tokoh komunitas lima gunung dari Gunung Merbabu, Riyadi, saat pementasan kesenian lima gunung dalam rangka sosialisasi perpolisian masyarakat (polmas) di Studio Mendut, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (20/7). Sejumlah spanduk yang dipasang panitia di beberapa tempat strategis di Kota Magelang, kini sudah diturunkan. Komunitas Lima Gunung Magelang ini beranggotakan para seniman rakyat yang berada di kawasan lima gunung yang mengitari Magelang, yakni Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh. Pusat-pusat komunitas seniman itu, antara lain di Desa Tutup Ngisor dan Ngampel (Merapi), Gejayan, Petung, dan Warangan (Merbabu), Mantran (Andong), Krandegan (Sumbing), Borobudur dan Mendut (Menoreh). Sejak tujuh tahun terakhir, kata Riyadi yang juga Kepala Desa Banyusidi, Pakis dan pimpinan komunitas seniman lima gunung dari Gejayan itu, komunitas lima gunung bergulat dengan upaya pelestarian dan pengembangan tradisi masyarakat berkesenian dan kebudayaan. Setiap tahun, kata dia, mereka menggelar festival "Lima Gunung Magelang" sebagai salah satu bentuk puncak silaturahmi antarkomunitas seniman rakyat dari lima gunung itu. Mereka juga telah menggelar pentas seni di berbagai kota besar di Indonesia, termasuk menerbitkan buku "Komunitas Lima Gunung Belum Tergantung Trias Politika". Tokoh komunitas lima gunung lainnya, Ismanto, mengatakan, para seniman lima gunung merespon rencana kirab budaya di Kota Magelang dengan menggelar aksi budaya bertajuk "Meditasi Etika Gunung" berupa "laku topo broto ora lungo kutha" (bertapa tidak pergi ke kota,red.) di desa masing-masing, 21-31 Juli 2008. "Lima gunung adalah kami, yang sedikitnya tujuh tahun terakhir ini berproses kebudayaan dan kesenian, melestarikan tradisi budaya masyarakat desa dan gunung. Jadi, kalau ada apa-apa di kota karena kegiatan itu menggunakan nama lima gunung, kami tidak tahu-menahu," kata Ismanto yang juga pimpinan komunitas teater "Gadung Mlati" dari Ngampel, lereng Gunung Merapi. Tokoh utama komunitas lima gunung, Sutanto Mendut, mengatakan, persoalan penggunaan nama kegiatan budaya di Kota Magelang itu tidak terkait dengan masalah suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). "Teman-teman lima gunung harus memaafkan dan menjadikan masalah ini sebagai proses pembelajaran semua pihak. Apalagi, semua punya hak untuk memberi nama, ini soal etika, soal pendidikan, dan bukan SARA," katanya. Ketua Panitia HUT Ke-108 Paroki Ignasius, Yos Bambang Suhendarto, mengatakan, pihaknya memohon maaf secara tulus atas kekhilafan penggunaan nama lima gunung di spanduk yang dipasang di beberapa tempat di Kota Magelang dalam rangka kirab budaya yang dijadwalkan hari Minggu (26/7). Kirab budaya, kata dia, tetap dilaksanakan sebagai salah satu rangkaian kegiatan hari jadi gereja Ignasius tersebut, tetapi tidak lagi menggunakan nama lima gunung. Beberapa grup kesenian yang akan kirab, antara lain grup kesenian soreng (Merbabu), grasakan (Sumbing), gangsir ngentir (Merapi), jatilan (Tidar), barongsai, rodat, dan jatilan bocah. "Kami tidak bermaksud apa-apa dengan penyebutan nama itu, ini kekhilafan kami. Kami menghargai kekayaan tradisi kesenian dan kebudayaan sebagai salah satu alat untuk membangun kekeluargaan, kebersamaan, dan persatuan," katanya. Permohonan maaf pihak panitia itu disampaikannya pada saat pementasan kesenian rakyat lima gunung di Studio Mendut, Kabupaten Magelang, Minggu (20/7).(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008