Makassar (ANTARA News) - Dari sekitar 900 media cetak yang ada di Indonesia, baru sekitar 30 persen yang sehat bisnis, sekaligus mampu memberikan "pencerahan" kepada publik. "Semenjak era reformasi, media terus bemunculan. Hingga kini tercatat sekitar 900 media cetak yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia, namun hanya 30 persen yang sehat bisnis," ungkap Leo Batubara, Wakil Ketua Dewan Pers, pada workshop media yang digelar Lembaga Pendidikan DR Soetomo dan Dewan Pers di Hotel Makassar Golden, Kamis. Menurutnya, pertumbuhan media cetak maupun elektronik setelah kebijakan dikeluarkan tanpa perlu ada SIUPP lagi untuk mendirikan media massa ketika era Yunus Yosfiah menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informasi, telah memicu para pemodal untuk mendirikan media dengan latar belakang kepentingan yang berbeda-beda. Terbukti selain media cetak yang mencapai angka 900-an, stasiun radio justeru sudah mencapai angka 2.000-an, menyusul stasiun televisi sebanyak 150-an dan 11 diantaranya merupakan stasiun nasional, tambahnya. Lebih jauh dijelaskan, jika pada era Orde Baru (Orba) media masih mayoritas berada di Pulau Jawa, setelah reformasi media sudah mampu menyebar ke-33 provinsi di Indonesia. Seharusnya kondisi ini patut disyukuri oleh lembaga pemerintah (Infokom), karena upaya penyebaran informasi yang tidak sentralistik sudah bisa menjadi desentralisasi. Ketika menyoal kualitas wartawan, Leo meminjam pernyataan Rosihan Anwar bahwa sekitar 80 persen wartawan Indonesia adalah pemeras. Artinya, hanya sekitar 20 persen saja yang mampu menjalankan tugasnya secara profesional dan masih mampu mempertahankan idealisme. "Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena itu peranan Dewan Pers selain sebagai pelindung bagi pers juga melakukan fungsi pembinaan dengan berpedoman pada kode etik pers," tandasnya. Leo mengungkapkan bahwa dalam sehari, pihaknya biasanya menerima tiga hingga lima kasus melibatkan wartawan, baik menyangkut kekerasan terhadap wartawan maupun kasus pencemaran nama baik. Dari sejumlah kasus tersebut, sebagian besar diselesaikan secara kekeluargaan antara pihak yang berselisih, namun ada juga yang sampai ke "meja hijau", seperti kasus Majalah Tempo, Tabloid Detik, dan sejumlah kasus-kasus yang melibatkan wartawan di daerah.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008