Brisbane (ANTARA News) - Pemerintah RI sudah saatnya memikirkan pengembangan "centerlink" seperti yang telah lama dimiliki Australia untuk memaksimalkan pelayanan keamanan sosial dan upaya memandirikan rakyat. Badan ini merupakan langkah lanjutan dari program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang selama ini sudah berjalan, demikian dalam diskusi akademis Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Universitas Queensland (UQISA) di Brisbane, Jumat, yang menghadirkan tiga mahasiswa doktoral UQ asal Indonesia sebagai pembicara. Ketiga pembicara dalam diskusi yang membahas masalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan alternatif energi baru untuk Indonesia itu adalah Hidayat Amir (mahasiswa doktoral bidang ekonomi), Yalun Arifin (bio-teknik) dan Bob Hardian (teknologi informasi). Hidayat Amir mengatakan, BLT dinilai "cukup baik" sebagai langkah awal pemberian subsidi kepada rakyat miskin namun program "penyelamatan" ini selayaknya diikuti pula dengan berbagai langkah konkrit pemberdayaan rakyat. "Skema subsidi harus segera dialihkan dari subsidi produk yang rentan distorsi kepada subsidi langsung (orang) sebagai kewajiban asasi negara terhadap rakyatnya," katanya. Dalam konteks penyaluran subsidi yang langsung kepada rakyat ini, keberadaan "centerlink" sangat diperlukan. Untuk itu, budaya "rent-seeker" (mencari-cari proyek) mutlak dikikis dan keterpaduan visi dan misi antara pemerintah pusat dan pemerintahan kota/kabupaten sangat penting, katanya. Sementara itu, Bob Hardian melihat "centerlink" sangat mungkin dikembangkan di Indonesia selama negara ini sudah memiliki data kependudukan yang benar dan berhasil melakukan konsolidasi data kependudukan tersebut. Secara teknis, upaya mengonsolidasi data kependudukan itu tidak ada masalah namun hal ini justru terkendala oleh hal-hal yang bersifat politis. "Selama `database` kependudukan kita tidak benar, kita masih sulit mewujudkan `centerlink`," katanya. Sependapat dengan Bob, seorang peserta diskusi, Akhmad Muzakki, engatakan, "centerlink" berhasil dibangun Australia bukan semata-mata karena data kependudukan dan infrastruktur teknologi penunjang negara ini sudah mapan, tetapi hal ini juga berkaitan dengan kejelasan pilihan konsep "welfare state" (negara kemakmuran). "Di Australia, penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sangat dikontrol oleh rakyat sebagai pembayar pajak. Rakyat di sini nomor satu," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008