Jakarta (ANTARA News) - Komisi VII DPR meminta agar pemerintah segera mengusulkan subsidi harga elpiji 12 kg, mengingat bahan bakar alternatif tersebut sudah menjadi kebutuhan utama masyarakat. Ketua Komisi VII DPR, Airlangga Hartarto, di Jakarta, Kamis, mengatakan pemberian subsidi negara juga akan mengatasi permasalahan elpiji yang terjadi sekarang ini. "Elpiji 12 kg seharusnya mendapat subidi negara seperti halnya kemasan 3 kg. Pemerintah bisa segera mengusulkannya kepada DPR, agar dapat dilakukan pembahasannya," katanya. Diatakannya, kalau negara tidak menyubsidi elpiji, maka perbedaan harga jual antara 12 kg dan 3 kg akan menyebabkan konsumen 12 kg beralih ke 3 kg. "Beralihnya konsumen 12 kg ke 3 kg akan mengganggu program konversi minyak tanah ke bahan bakar alternatif tersebut," katanya. Padahal, program konversi minyak tanah ke elpiji bertujuan mengurangi subsidi negara, sekaligus sebagai bahan bakar alternatif yang lebih bersih lingkungan. Hal senada dikemukakan Anggota Komisi VII DPR, Tjatur Sapto Edy. Menurut dia, Pertamina melanggar UU tentang BUMN jika masih menyubsidi elpiji 12 kg. "Sebagai BUMN, dengan memberikan subsidi elpiji, berarti Pertamina merugi. Hal itu tidak dibenarkan, apalagi nilainya hingga Rp6 triliun per tahun," katanya. Namun, lanjutnya, jika elpiji 12 kg disubsidi negara sebesar Rp6 triliun, maka kerugian Pertamina sebesar Rp6 triliun per tahun tersebut juga akan hilang dan setoran dividen ke pemerintah akan semakin besar. "Memang, masuk kantong kiri, keluar kantong kanan. Namun, barang tersebut menjadi tidak abu-abu lagi," katanya. Tjatur juga mengatakan, karena harga jual elpiji 12 kg di dalam negeri masih di bawah keekonomian, menyebabkan banyak badan usaha yang sebenarnya sudah memperoleh izin berbisnis elpiji tidak mau masuk. "Bahan bakar elpiji sudah bukan lagi merupakan monopoli Pertamina," katanya. Sejumlah perusahaan memang ada yang ikut berbisnis elpiji dengan merek seperti Blue Gas dan My Gas, namun belum bisa berkembang dengan baik. Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto, mengemukakan dalam jangka pendek pemerintah memang tetap harus menetapkan harga jual elpiji 12 kg. "Namun, ke depan, pemerintah mesti mengalokasikan subsidi harga elpiji 12 kg, meski mesti diperjelas dulu itung-itungannya secara transparan," katanya. Pri juga mengatakan, pemerintah perlu segera mengeluarkan tata niaga elpiji yang mengatur secara jelas konsumen 3 kg, 12 kg, dan komersial. Pertamina per 1 Juli 2008 telah menaikkan harga elpiji 12 kg dari Rp51.000 per tabung menjadi Rp63.000 per tabung atau dari Rp4.250 per kg menjadi Rp5.250 per kg. Sementara, harga jual elpiji kemasan 3 kg yang mendapat subsidi negara masih Rp4.250 per kg. Pertimbangan kenaikan harga elpiji adalah harga pasar internasional elpiji mengacu CP (contract price) Aramco mengalami kenaikan cukup besar. Saat harga Rp4.250 per kg yang ditetapkan tahun 2005, harga elpiji CP Aramco masih 310 dolar AS per metrik ton. Namun, per Juli 2008, harga kontrak Aramco sudah 950 dolar AS per metrik ton atau mengalami kenaikan 206 persen. Harga keekonomian elpiji kini sudah Rp10.140 per kg, sehingga dengan harga jual di dalam negeri setelah kenaikan masih Rp5.250 per kg, maka Pertamina masih menyubsidi Rp4.890 per kg. Jika konsumsi elpiji 12 kg per tahun sebesar 1,2 juta metrik ton, maka kerugian Pertamina sekitar Rp6 triliun per tahun. Pertimbangan penyesuaian elpiji lainnya adalah kenaikan biaya operasi dan distribusi sebagai akibat kenaikan harga BBM akhir Mei lalu. Kenaikan biaya operasi meliputi transportasi, marjin agen, dan ongkos pengisian elpiji antara 15-20 persen. Pertamina berharap penyesuaian harga elpiji dapat memberikan iklim usaha yang realistis bagi para agen dan memperbaiki kinerja pelayanan kepada konsumen. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008