Jakarta (ANTARA News) - Direktur Kajian Politik Center for Indonesian National Policy Studies (CINAPS), Guspiabri Sumowigeno mengatakan, apa yang berkembang dari pemeriksanaan Muchdi PR telah menunjukkan adanya ketidakpercayaan pada sistem hukum dan demokrasi yang melanda bukan saja masyarakat tetapi juga aparat negara. "Perlu dipahami bahwa masalah pembunuhan Munir ini meliputi dimensi yang amat kompleks, tak bisa didekati hanya dari konteks pengusutan sebuah pembunuhan biasa," kata Guspiabri di Jakarta, Senin. Ia mengatakan, dari sisi aparat keamanan negara yang memiliki tanggungjawab menjaga keamanan negara dalam arti luas, proses demokratisasi telah menimbulkan pertanyaan besar mengenai daya tahan negara ini terhadap keterbukaan yang ada. "Mereka belajar dari kasus runtuhnya Uni Soviet, yang mempraktekkan sistem politik yang terlalu terbuka," jelasnya. Dikatakannya bahwa reformasi telah menghasilkan tatanan sosial-politik dan hukum yang baru, yang bagi sebagian aparatur keamanan negara diyakini sebagai suasana disorientasi bagi keutuhan bangsa-negara. "Kelompok ini melihat bahwa produk hukum yang ada tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk melindungi eksistensi negara," ujarnya. Disisi lain, keberadaan masyarakat madani yang disponsori asing dengan beragam aktivitas yang bersifat melemahkan negara (seperti memberi angin pada kegiatan separatisme atas nama HAM dan demokrasi), menimbulkan kecurigaan mengenai misi sebenarnya kelompok ini. Ketika ada keperluan untuk mendefinisikan siapa musuh negara, sulit dicapai suara bulat untuk memutuskannya. Apa yang dilakukan Munir selama hidupnya telah menimbulkan kontroversi dikalangan aparat negara dibidang keamanan. "Bagi sebagian aparat keamanan negara Munir adalah musuh negara. Bagi sebagian yang lain Munir tidak terlalu berbahaya," jelasnya. Menurut dia, pendapat ini bukan hanya pendapat individual, tapi didukung satu kelompok ideologis tertentu didalam masyarakat. Orang boleh berpandangan bahwa Munir tidak berbahaya, tetapi aparat dan insitusi keamanan negara memiliki parameter sendiri yang menjadi bagian dari profesionalisme mereka dalam menangani persoalan keamanan negara. Dikataannya, cara kekerasan selalu merupakan alternatif ketika sistem hukum dianggap tidak sanggup menyelesaikan suatu masalah. Bagi sebagian aparat keamanan negara, sistem hukum dan politik negara ini dianggap tak bisa memproses orang yang dianggap membahayakan negara sehingga muncul inisiatif individual diluar hukum. Pelakunya merasa apa yang dilakukannya adalah bagian dari sikap patriotiknya. Selayaknya, kata dia, perbedaan pandangan ini bisa diwadahi di media massa. Mestinya pers lebih adil melihat perbedaan pandangan soal HAM dan demokrasi. "Tak semua pandangan aparat keamanan negara itu salah, dan setiap pandangan civil society menjadi benar," demikian Guspiabri.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008