Proyek Mobnas "Maleo" mulai marak dibicarakan sejak 1994 ketika Komisi X DPR mengusulkan kepada Menristek Habibie agar membuat mobil sendiri dengan berpijak pada industri pesawat terbang yang telah berkembang pesat lebih dulu.
Usulan DPR tersebut kemudian disampaikan Habibie kepada Presiden Soeharto. Menurut Habibie, Presiden tidak berkeberatan karena itu merupakan salah satu perwujudan dari aspirasi masyarakat.
"Maleo" dirancang oleh 83 insinyur serta para ahli teknik Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis (BUMNIS) yang mencakup Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), PINDAD, Lembaga Elektronika Nasional (LEN), INTI, BARATA, Krakatau Steel.
Habibie saat itu menginginkan "Maleo" yang menjadi program unggulan itu bisa meluncur di jalanan Tanah Air pada 1998.
Rancang bangun "Maleo" sendiri disiapkan Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) bersama dengan pihak Australia.
Mobil hasil rancangan BPIS dengan kekuatan 80 tenaga kuda itu menggunakan mesin Orbital dari Australia yang terdiri dari tiga silinder dan 1.200 cc.
Tanpa mengurangi kualitas, tingkat keselamatan dan pelayanan, "Maleo" akan banyak menggunakan material "thermostat", yaitu material yang terdiri dari bahan plastik antikarat.
Proses rekayasa mobil "Maleo" terus berjalan untuk mendapatkan mobil bertipe kecil yang hemat bahan bakar ber-CC 1.000.
Habibie mengatakan "Maleo" cocok menggunakan mesin Orbital yang dinilai hemat BBM dan tidak mencemari lingkungan (ramah lingkungan).
"Nantinya harga jualnya di bawah 20 juta rupiah. Mobil seperti ini yang banyak dibutuhkan keluarga," kata Habibie.
Komponen Lokal
Mobil nasional "Maleo" yang dirancang para ahli di BPIS diharapkan akan muncul April 1997, sedangkan untuk masuk ke pasar paling cepat diperkirakan baru satu tahun kemudian.
Habibie yang juga Kepala BPIS menginginkan prototipe "Maleo" mulai diujicoba di jalan raya pada April 1997. Sebanyak 60 unit mobil "Maleo" akan diproduksi untuk tahap ujicoba tersebut.
Saat itu, ia menargetkan "Maleo" selesai diproduksi dan bisa dipasarkan pada 1998. Untuk menghidupkan industri Tanah Air, Mobnas "Maleo" menggunakan 60 persen komponen lokal, sedangkan 40 persen masih memanfaatkan teknologi Australia dan Inggris.
"Kenapa namanya Mobil Nasional. Yaa, apalah arti sebuah nama.Yang penting, ini hasil karya nyata putera-putera Indonesia, " ujar Bapak Teknologi itu seraya menambahkan Mobnas "Maleo" pada masa depan akan dikembangkan tidak lagi berbahan bakar bensin tetapi hidrogen.
"Dari situ saya yakin akhir abad ini kita sudah bisa memproduksi mobil hasil rekayasa sendiri," katanya.
Sedangkan kepemilikan sahamnya, BPIS akan memiliki 30 persen saham perusahaan pembuat mobil nasional "Maleo", sedangkan 70 persen sisanya dimiliki swasta dengan nilai masing-masing unit saham ditawarkan 100 hingga 1.000 dolar AS.
Swasta yang dimaksud adalah perusahaan industri komponen nasional yang memang akan didorong pertumbuhannya melalui program Mobil Nasional (Mobnas), baik itu melalui mobil "Maleo" maupun "Timor" serta untuk ekspor.
BPIS berpendapat bahwa pengembangan mobil nasional itu bisa dilakukan oleh perusahaan swasta, maka akhirnya lembaga nondepartemen ini lebih memusatkan perhatiannya kepada industri yang benar-benar strategis seperti pesawat udara, kereta api, dan senjata.
Baca juga: BJ Habibie Wafat - Mengingat calon mobil nasional Maleo
Di tengah jalan, pihak swasta yaitu PT Timor Putra Nasional muncul dengan mobil Timor. Perusahaan milik Tommy Soeharto itu diberi hak oleh pemerintah untuk memproduksi mobil nasional, bekerja sama dengan pabrik mobil Kia dari Korea Selatan.
PT Timor memperoleh pembebasan bea masuk dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang Mewah (PpnBM).
Sebagai imbalan atas perlakuan khusus itu, PT Timor milik Tommy Soeharto diwajibkan menggunakan komponen lokal mulai tahun 1996 hingga 1998 secara bertahap dari 20 persen, 40 persen hingga 60 persen.
Kewajiban bagi industri-industri mobil itu untuk menggunakan komponen lokal diharapkan mendorong industri nasional untuk menghasilkan berbagai peralatan yang dibutuhkan industri otomotif.
Prinsip pemerintah lainnya adalah pabrik komponen baru itu memberi prioritas pada komponen yang belum dihasilkan industri dalam negeri
"Jangan sampai mematikan industri lokal yang sudah membuat komponen yang sama," kata Habibie.
Namun belum lagi industri mobil nasional berkembang, pada 1997 produksi Timor dihentikan karena krisis moneter dan juga lengsernya Presiden Soeharto dari kursi kepemimpinannya.
Mimpinya untuk memproduksi mobil nasional juga tidak terwujud meski ia menduduki jabatan tertinggi sebagai Presiden ketiga RI menggantikan Soeharto sejak 21 Mei 1998 karena masa jabatan yang singkat, terhitung hanya setahun lima bulan.
Hingga saat ini kebangkitan industri mobil nasional masih terus didengungkan, sesekali muncul dalam bentuk prototipe bahkan sudah sampai tahap produksi seperti mobil Esemka yang diyakini akan bisa membangkitkan industri otomotif nasional.
Bahkan, hingga Habibie mengembuskan nafas terakhirnya pada Rabu (11/9), pukul 18.05 WIB, mimpi mewujudkan industri mobil nasional belum terlaksana. "Maleo" hanya tinggal cita-cita.
Habibie meninggal dunia setelah dirawat sejak 1 September 2019 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta karena usia dan gagal jantung.
Mungkinkah Esemka akan menjadi realisasi dari mimpi Habibie?
Baca juga: Esemka diharapkan jadi ladang berkarya insinyur nasional
Baca juga: Dekan UGM: Habibie pantas disebut bapak kebangkitan teknologi nasional
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019