Jakarta (ANTARA) - Sejumlah pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi membagi-bagikan bunga ke warga yang melintas di kegiatan Hari Bebas Kendaraan Bermotor (Car Free Day/ CFD) Jakarta, Minggu pagi.

Mereka berpencar di sejumlah titik membagikan tangkai bunga ke sejumlah warga. Harapannya, warga yang menerima bunga tersebut bisa ikut menyuarakan penolakan revisi UU KPK.

Setiap tangkai bunga disertakan secarik kertas yang bertuliskan kata "Tolong" dan "Jokowi setuju revisi UU KPK = KPK mati".

Itu adalah aksi lanjutan sebelumnya yang berlangsung di kantor KPK, Jakarta, Jumat (6/9). Intinya, mereka menolak revisi UU KPK dan menolak calon pimpinan KPK yang diduga bermasalah.

KPK adalah lembaga antirasuah yang hadir di masa Presiden kelima Megawati Soekarnoputri. Sejak itu, otoritas KPK dilindungi hingga zaman pemerintahan Presiden keenam, Susilo Bambang Yudhoyono.

Kita tentu berharap agar Presiden Joko Widodo tidak membiarkan Komisi Pemberantasan Korupsi tersungkur dan lumpuh dengan rencana revisi UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK.

"Kami percaya, Presiden Joko Widodo tidak akan membiarkan anak reformasi ini tersungkur, lumpuh dan mati," kata Ketua KPK, Agus Rahardjo dalam surat terbukanya yang diterima di Jakarta, Jumat.

KPK memiliki sepuluh keberatan terkait usulan revisi Undang-Undang KPK yang diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rapat Paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR, Utut Adianto, yang dihadiri 77 anggota dari total 560 anggota. Sepuluh hal yang juga dimuat di situs resmi KPK itu pun menuai pro dan kontra, di antaranya:

Dewan Pengawas
Yang pertama, KPK keberatan soal pembentukan Dewan Pengawas KPK yang dipilih oleh DPR. Pengamat sekaligus pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menilai bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu memiliki dewan pengawas.

"Menurut saya tidak perlu karena KPK sudah memiliki mekanisme pengawasan sendiri," ujar Bivitri.

Bivitri mengatakan KPK telah memiliki mekanisme pengawasan yang cukup ketat, mulai dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), DPR, Kementerian Komunikasi dan Informasi hingga mekanisme praperadilan.

Selain itu, tidak ada jaminan keberadaan Dewan Pengawas di tubuh KPK dapat menjadikan lembaga itu dapat bekerja secara efektif.

Pengamat politik Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago justru menilai perlu adanya Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun harus mempertimbangkan kemampuan keuangan negara dan efisiensinya.

"Ada anggaran yang harus dikeluarkan untuk membuat badan pengawas ini," kata Pangi di Jakarta, Sabtu (6/7).

Sebelumnya dalam kesempatan lain, mantan pimpinan KPK, Antasari Azhar mengatakan KPK memerlukan dewan pengawas untuk mengawasi kinerja lembaga.

Antasari mengatakan keberadaan Dewan Pengawas tetap diperlukan untuk mengawasi kinerja lembaga seperti laporan yang masuk, tingkat penyelidikan serta penyidikan, namun dewan pengawas harus berada di luar lembaga antirasuah itu sendiri.

"Tentunya tokoh masyarakat yang peduli dengan penegakan antikorupsi atau tokoh agama, atau apapun," ucap Antasari yang memimpin KPK 2007 sampai 2009.

Ketua DPR, Bambang Soesatyo, mengatakan institusinya tidak mencampuri pembentukan Dewan Pengawas KPK. Hal ini diserahkan sepenuhnya kepada pimpinan KPK.

"Kami tidak meminta Dewan Pengawas KPK dari DPR, namun itu dibentuk oleh Pimpinan KPK melalui aspirasi publik. Silahkan dipilih apakah ada dari profesor, kiai, akademisi, wartawan, pengamat ya silahkan saja," kata dia, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (1/2).

Penyadapan dipersulit
Yang kedua, KPK keberatan terkait penyadapan yang dipersulit dan dibatasi. Penyadapan memang menjadi salah satu metode yang digunakan KPK untuk mendapatkan alat bukti di pengadilan.

Namun, metode itu menuai pro dan kontra karena dianggap bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Karena itu, DPR dalam revisi UU KPK memutuskan, sebelum menyadap, pimpinan KPK harus meminta izin tertulis dari Dewan Pengawas KPK.

Setelah izin didapat, penyidik KPK dapat menyadap maksimal tiga bulan dari saat penyadapan itu dilakukan. Asas penyadapan bersifat rahasia hanya untuk kepentingan pemeriksaan korupsi. Adapun hasil penyadapan yang tidak berhubungan dengan tindak pidana korupsi harus dimusnahkan.

Mantan Ketua KPK, Abraham Samad menyoroti upaya tersebut memperpanjang alur penyadapan dengan risiko bisa bocor sebelum dijalankan.

Abraham menambahkan selama ini KPK sudah membentuk sistem kolektif kolegial pimpinan KPK dalam pengambilan keputusan sebelum dilakukan penyadapan. Kata dia, izin harus melewati banyak meja, yakni kasatgas, direktur penyidikan, deputi penindakan kemudian meja lima pimpinan KPK. Sementara, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam, menilai pembuktian serta perlindungan privasi dan mekanisme upaya pemulihan bagi yang disadap harus diperhatikan.

"Jadi, kalau ada orang menyadap sampai 30 hari atau seminggu, utang-piutang dapat, kredit motor dapat, janjian makan malam dengan siapa dapat. Padahal tidak ada hubungannya dengan kejahatan, itu pemulihannya seperti apa? Dan itu kerahasiaannya banyak," tutur dia.

Pada situasi tertentu, pengamat politik Universitas Indonesia Donny Gahral menyebutkan kalau Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tidak perlu memusingkan pelanggaran HAM supaya KPK bisa menangkap koruptor demi tegaknya keadilan.

"Sebetulnya HAM itu tidak berlaku mutlak, tapi sekarang kalau pun ada yang harus dipersoalkan, pengecualian hanya pada soal penyadapan KPK," ujar Donny.

SP3 Kasus Korupsi
Yang ketiga, KPK keberatan jika harus menerbitkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) pada kasus korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komaruddin khawatir jika KPK memiliki kewenangan SP3, maka kewenangannya sebagai lembaga penegakan hukum kasus korupsi extra ordinary akan menjadi lemah.

"Ini menjadi berbahaya, karena nantinya banyak pejabat yang ditangkap KPK bisa minta di SP3-kan kasusnya," kata dia.

Senada dengannya, pengamat hukum dari UIN Yogyakarta Hifdzil Alim menilai tidak adanya wewenang untuk menerbitkan SP3 seperti itu dapat membuat KPK bekerja lebih hati-hati dalam menangani kasus korupsi.

"Kalau KPK dikasih (kewenangan) SP3, KPK bisa saja menetapkan seorang gubernur menjadi tersangka. Nanti satu tahun kemudian, karena tidak cukup bukti, dikeluarkan SP3. KPK jadi permainan politik saja," ujar Hifdzil.

Sementara Wakil Presiden, Jusuf Kalla mengatakan revisi UU KPK mengenai kewenangan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) ditujukan agar Komisi Pemberantasan Korupsi lebih objektif menyelesaikan suatu kasus hukum.

"Tidak ada hal-hal yang mengurangi kewenangan KPK, yang ada justru agar KPK lebih fokus dan objektif. Oleh karena itu ada pengawas, ada SP3," tegas JK.

Menurut JK, perubahan itu, jika dilihat secara proporsional, dilakukan agar UU KPK lebih tepat atau lebih sesuai dengan perkembangan hukum yang terjadi saat ini.

Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Indriyanto Seno Adji mengatakan perkara penghentian penyidikan pun dinilai bertujuan untuk memenuhi asas kepastian hukum dan keadilan. Hal ini bisa diterapkan dalam kondisi limitatif dan eksepsional kepada tersangka yang sakit berat.

"Secara medis dinyatakan unfit to stand trial secara permanen (tidak layak diajukan ke pengadilan), maka orang tersebut harus dihentikan penyidikannya," jelasnya.

KPK dilemahkan
Yang keempat, KPK menuliskan keberatan jika kewenangannya terkait proses penuntutan perkara korupsi kini harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung.

Kedua lembaga penegak hukum itu diketahui sama-sama memiliki tugas dan wewenang untuk menangani perkara korupsi, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga masuk ke pengadilan.

Dengan adanya koordinasi terlebih dulu dengan Kejaksaan Agung, kedua lembaga dapat bersinergi dari segi Sumber Daya Manusianya untuk bersama-sama memberantas korupsi. Apalagi KPK pernah memiliki riwayat kekurangan tenaga jaksa.

Namun, koordinasi akan berdampak pada semakin banyaknya prosedur yang harus ditempuh KPK sehingga akan memperlambat penanganan perkara korupsi. Sebab KPK terikat batas waktu penanganan perkara.

Keterbatasan itu antara lain dalam hal penuntutan, yakni setelah menerima berkas perkara dari penyidik, penuntut umum wajib melimpahkan berkas perkara itu ke pengadilan, selambat-lambatnya 14 hari kerja.

Semua perkara yang sudah masuk ke tahap penyidikan harus tuntas hingga dibawa ke pengadilan. Dengan batasan itu, perkara menggelinding cepat dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga proses persidangan.

Yang kelima, KPK menuliskan keberatan jika kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas sebab pengambilalihan perkara hanya bisa dilakukan untuk proses penyelidikan. Sebagaimana sekarang diatur di Pasal 9 UU KPK yang diusulkan DPR.

Yang keenam, KPK juga keberatan jika kewenangan strategis proses penuntutan dihilangkan seperti pelarangan ke luar negeri, meminta keterangan perbankan, menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi, meminta bantuan Polri dan Interpol.

Yang ketujuh, KPK keberatan jika kewenangan mengelola pelaporan dan pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dipangkas. KPK merasa posisinya direduksi dengan hanya melakukan kooordinasi dan supervisi.

"Padahal selama ini, KPK telah membangun sistem dan KPK juga menemukan sejumlah ketidakpatuhan pelaporan LHKPN di sejumlah institusi," tulis KPK di situs resminya.

Pelaporan LHKPN yang dilakukan di masing-masing institusi seperti yang disepakati sekarang akan mempersulit KPK melihat data kepatuhan pelaporan dan kewajaran kekayaan Penyelenggara Negara.

Tidak independen
Yang kedelapan, KPK keberatan jika Penyelidik KPK hanya berasal dari Polri, sedangkan Penyidik KPK berasal dari Polri dan PPNS. Hal ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat dasar hukum bagi KPK dapat mengangkat Penyelidik dan Penyidik sendiri.

"Selama ini proses Penyelidikan dan Penyidikan yang dilakukan KPK sudah berjalan efektif dengan proses rekruitmen yang terbuka yang dapat berasal dari berbagai sumber," tulis KPK di situs resminya.

Selain itu, di sejumlah lembaga-lembaga antikorupsi negara lain di dunia telah menerapkan sumber terbuka Penyidik yang tidak harus dari kepolisian, seperti: CPIB di Singapura, ICAC di Hong Kong, MACC di Malaysia, Anticorruption Commision di Timor Leste, dan lembaga antikorupsi di Sierra Leone.

Akibatnya, yang kesembilan, KPK khawatir tidak disebut lagi sebagai lembaga Independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Sebab, KPK telah dijadikan lembaga Pemerintah Pusat dengan anggota yang berasal dari Aparatur Sipil Negara (ASN).

"Pegawai KPK dimasukan dalam kategori ASN sehingga hal ini akan berisiko terhadap independensi pegawai yang menangani kasus korupsi di instansi pemerintahan," tulis KPK di situs resminya.

Terakhir, yang kesepuluh, KPK keberatan jika perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria. Ketentuan yang sebelumnya diatur di Pasal 11 huruf b UU KPK tidak lagi tercantum, yaitu: mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat.

"Padahal pemberantasan korupsi dilakukan karena korupsi merugikan dan meresahkan masyarakat dan diperlukan peran masyarakat jika ingin pemberantasan korupsi berhasil," tulis KPK di situs resminya.

Presiden Jokowi mengatakan ia mengapresiasi kinerja KPK selama ini. "Yang pasti seperti kemarin saya sampaikan, KPK bekerja sangat baik dalam rangka pemberantasan korupsi," tambah Presiden.

Ia berharap agar DPR memiliki semangat untuk memperkuat KPK saat mengusulkan rencana revisi UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Yang jelas saya kira kita harapkan DPR mempunyai semangat yang sama untuk memperkuat KPK," kata Jokowi di Solo, Jumat (6/9).

Jokowi mengaku belum melihat rancangan revisi UU KPK tersebut, sehingga belum dapat berkomentar banyak.

"Saya melihat dulu yang direvisi apa. Saya belum lihat, kalau sudah ke Jakarta, yang direvisi apa, materinya apa, saya harus tahu dulu, baru saya bisa berbicara," tambahnya.

Revisi UU KPK harus bisa membantu menata sistem internal KPK yang lebih transparan, akuntabel, dan tidak tercemar intervensi dari ideologi atau kekuatan politik tertentu.

Untuk memastikan revisi UU KPK tidak melemahkan pemberantasan korupsi, masyarakat harus ikut memperhatikan manuver politik di DPR.

Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang justru mendukung revisi tersebut sebab UU KPK sudah terlalu lama tidak direvisi. Namun dia meminta, revisi tersebut harus memperkuat KPK secara kelembagaan.

"Kita kembali saja ke poin-poin apa sebenarnya yang bisa (membuat) KPK menjadi tidak prudence, KPK menjadi tidak perform, KPK menjadi lebih lemah, KPK menjadi lebih sulit untuk menegakkan keadilan, kebenaran, kejujuran, terlebih dalam kaitan dengan tindak pidana korupsi," jelas dia.

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019