Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah tokoh dari berbagai pulau dan daerah di Indonesia bahagian Timur, di antaranya Laode Ida, Zainal Bintang, Freddy Roeroe, Ray Sahetapi, Andi Suruji, M Hatta Taliwang, Polycarpus da Lopez, HM Alwy, Syamsuddin Radjab, sepakat mendeklarasikan Gerakan Kebangkitan Ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI), di Jakarta, Sabtu. Fokus utama pergerakan yang lahir dalam sebuah forum di kawasan `World Trade Centre` (WTC), Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan itu, ialah, memperjuangkan sejumlah isu strategis termasuk meyakinkan para otoritas pengambil kebijakan agar segera melakukan perubahan paradigma maupun kebijakan, terutama dalam manajemen energi nasional, pangan nasional, pariwisata nasional serta juga sektor `transhipment`. Para tokoh maupun aktivis yang hadir terdiri dari beragam latar belakang, seperti legislator, senator, politisi, jurnalis, praktisi hukum, pegiat LSM, profesional, pengusaha, seniman, baik itu Orang Papua, Ambon, Manado, Makassar, Bugis, Minahasa, Gorontalo, Kupang, Flores, Ternate, Buton, Palu, Poso, dan lain-lain. "Ini bukan saja merupakan sebuah gerakan moral, tetapi betul-betul upaya sungguh-sungguh untuk memobilisasi kekuatan dalam kerangka NKRI, jangan sampai `kapal Nusantara` ini semakin miring, karena beragam ketimpangan kemajuan, perhatian maupun pembangunan antara kawasan Barat versus Timur Indonesia," kata Laode Ida. Para pendeklarasi Gerakan Kebangkitan Ekonomi Kawasan Timur Indonesia (Gerbang Ekatindo) ini juga sepakat memilih tiga plus satu fokus pergerakan, yakni pemberdayaan energi, pangan, pariwisata serta pengembangan infrastruktur transportasi kelautan maupun kemaritiman kelas internasional (`transhipment`). "Bicara krisis global saat ini, termasuk yang kini dirasakan Indonesia, jelas menyangkut energi dan pangan yang paling utama. Dan kedua-duanya itu tersedia berlimpah ruah oleh anugerah Tuhan di kawasan Timur Indonesia (KTI). Banyak mitra dari Eropa, Timur Tengah, Asia dan Amerika ingin bekerjasama untuk pengembangan investasi di kedua sektor strategis ini, tetapi kita menghadapi hambatan kultural maupun birokrasi. Inilah yang antara lain perlu diterobos," kata Achmad Latief, salah satu profesional dan investor bidang pertambangan. Para deklarator akhirnya sepakat untuk memfokuskan isi agenda pergerakan (`strategic action`) pada tiga hal utama (energi, pangan dan pariwisata) plus satu pendukung utama (`transhipment`). "Kita tentu tak perlu mengeluh karena pemerintahan sekarang telah menghapus Kementerian Percepatan Pembangunan KTI yang ada pada dua kabinet sebelumnya. Kami ingin fokus pada aksi konkret, tidak lagi mengeluh atau meminta diperhatikan. Kami punya `potential natural resources` baik itu di bidang energi juga pangan yang amat dibutuhkan dunia masa kini, juga area pariwisata serta jalur `transhipment` kaliber internasional," kata Freddy Roeroe. Berbicara mengenai pengembangan `transhipment`, Freddy Roeroe menunjuk kemampuan Singapura yang mengambil untung secara monopoli hal tersebut. "Padahal, dari tujuh `chock points` atau alur laut internasional, ada empat di antaranya terdapat di Indonesia, dan tiga telah diakui sebagai Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Itu `jalan tol` samudera global. Tetapi kita tidak pernah bisa memanfaatkannya. Kita membangun tanpa memasukkan faktor-faktor kekuatan posisi strategis itu. Itulah yang diambil Singapura, dan ke depan KTI akan merebutnya lagi," tandasnya. Kesalahan paradigma pembangunan Indonesia yang dari waktu ke waktu hanya berupaya mencari solusi mengurangi jumlah kemiskinan absolut, menurutnya, telah membuat bangsa ini lupa menyusun strategi demi kejayaan bangsa secara komprehensif di masa depan.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008