Jakarta (ANTARA News) - Kebijakan mandatori penggunaan biodisel berdampak positif karena mampu menghemat devisa 592 juta dolar AS sehingga pemerintah bertekad terus melakukan langkah sesuai Paket Kebijakan Stabilisasi dan Pertumbuhan Ekonomi yang terbit September 2013.

"Meningkatnya konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dan berfluktuasinya harga minyak dunia membuat pemerintah semakin kuat mendorong kebijakan mandatori penggunaan bahan bakar nabati (BBN)," kata Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa kepada pers di Kantor Wapres Jakarta, Rabu.

Hal tersebut disampaikan Hatta usai rapat pembahasan kelanjutan penggunaan biodisel yang dipimpin Wakil Presiden Boediono dan dihadiri Menteri Energi Sumber Daya Mineral Jero Wacik, Menteri BUMN Dahlan Iskan, serta Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan.

Menurut Hatta, adanya kebijakan itu juga berhasil menurunkan impor solar dalam jangka waktu enam bulan sejak kebijakan itu mulai berjalan.

Dikatakannya, penghematan devisa negara itu diperoleh melalui optimalisasi pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN) jenis biodiesel sebagai campuran 10 persen minyak Solar.

Hatta menambahkan dalam tahun 2014 target penggunaan biodiesel oleh Pertamina akan mencapai 3,4 juta Kiloliter (KL), sedangkan untuk non Pertamina targetnya sebesar 400 ribu KL.

Jero Wacik mengatakan, penghematan ini berlangsung sejak terbitnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2013 tentang tentang perubahan atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 23 Tahun 2008 tentang penyediaan, pemanfaatan dan tata niaga BBN (Biofuel) sebagai bahan bakar lain.

"Sejak September 2013 hingga Februari 2014, terjadi penghematan devisa negara sebesar USD 592 juta karena berkurangnya impor Solar. Ini setara dengan penghematan impor Solar rata-rata per bulan sebesar 126.761 KL," katanya.

Pemanfaatan biodiesel tidak hanya berdampak positif pada kondisi moneter namun juga memberi kontribusi pada usaha penurunan emisi gas rumah kaca sebab biodiesel adalah bahan bakar yang lebih ramah lingkungan dengan tingkat emisi rendah dan mudah terurai.

Berdasarkan perhitungan selama tahun 2013 saja, pemanfaatan biodiesel memberikan pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 1.54 juta ton CO2.

Pemerintah berharap, melalui program wajib pemanfaatan biodiesel dan bioetanol, target penurunan gas rumah kaca pada 2020 untuk sektor energi sebesar 38 juta ton CO2 sudah tercapai pada 2017.

Hatta mengatakan, peluang untuk meningatkan lagi pemanfaatan BBN juga masih terbuka lebar.

Kemampuan produksi industri biodiesel di dalam negeri saat ini tercatat 5,6 juta KL per tahun dari 25 produsen yang telah memiliki izin usaha niaga BBN.

"Selain itu proses pengadaan dan pelelangan biodiesel oleh Pertamina, yang melaksanakan pencampuran dan pendistribusian terbesar, juga belum selesai seluruhnya, khususnya untuk wilayah timur Indonesia," katanya.

Pada Juni 2014 diharapkan proses pengadaan telah selesai dilaksanakan dan selanjutnya dimulai penyaluran biodiesel untuk Indonesia bagian Timur.

"Kita akui infrastruktur di wilayah Indonesia Timur masih kurang untuk membangun biodisel tapi akan terus kita tingkatkan," kata Hatta.

Pada 2016 Pemerintah sudah mematok target untuk mewajibkan campuran biodiesel hingga 20 persen, dua kali lipat dari tingjat sekarang ini yang baru 10 persen.

Untuk memnuhi tambahan kebutuhan in, produsen biofuel dalam negeri harus menaikkan kapasitas produksinya sekitar 1,3 juta KL.

Dari sisi bahan baku, penambahan kapasitas ini tidak akan menjadi masalah karena produksi minyak sawit mentah Indonesia cukup melimpah.

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014